Rabu, 26 Mei 2010

Kisah Nabi Ilyasa Alaihissalam

Setelah Nabi Ilyas Alaihissalam meninggal dunia, ia digantikan oleh anak angkatnya yang bernama Ilyasa. Nabi Ilyasa Alaihissalam melanjutkan misi ayah angkatnya dan kaumnya kembali taat kepadanya. Selama masa kepemimpinan Nabi Ilyasa ini kaum Bani Israil hidup rukun, tentram, makmur, karena berbakti dan bertakwa kepada Allah. Akan tetapi setelah ia wafat, kaumnya kembali durhaka. Akhirnya kaumnya dilanda kesengsaraan, dan pada saat-saat seperti itu lahirlah Nabi Yunus Alaihissalam.
sumber: http://ahlulhadist.wordpress.com/

Kisah Nabi Ilyas Alaihissalam

Nabi Ilyas Alaihissalam adalah keturunan ke-4 dari Nabi Harun Alaihissalam. Ia diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kaumnya, Bani Israil, yang menyembah patung berhala bernamaBa’al. Berulang kali Nabi Ilyas Alaihissalam memperingatkan kaumnya, namun mereka tetap durhaka.
Karena itulah Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan musibah kekeringan selama bertahun-tahun, sehingga mereka baru tersadar bahwa seruan Nabi Ilyas Alaihissalam itu benar. Setelah kaumnya tersadar, Nabi Ilyas Alaihissalam berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar musibah kekeringan itu dihentikan. Namun setelah musibah itu berhenti, dan perekonomian mereka memulih, mereka kembali durhaka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Akhirnya kaum Nabi Ilyas Alaihissalam kembali ditimpa musibah yang lebih berat daripada sebelumnya, yaitu gempa bumi yang dahsyat sehingga mereka mati bergelimpangan.
sumber: http://ahlulhadist.wordpress.com

Senin, 24 Mei 2010

Nabi Sulaiman Alaihissalam


Nabi Sulaiman Alaihissalam adalah putra Nabi Daud Alaihissalam. Setelah Nabi Daud Alaihissalam wafat, Nabi Sulaiman Alaihissalam menggantikannya sebagai Raja. Mukjizatnya yang paling terkenal adalah ia diberi keistimewaan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dapat memerintah bukan hanya kepada manusia, melainkan juga kepada hewan, angin, dan jin. Nabi Sulaiman dapat menjadikan angin bertiup atas perintahnya ke tempat yang ia kehendaki. Allah pun menundukkan syaitan-syaitan untuk melayani Sulaiman. Di antara mereka ada yang bisa membangun istana dan benteng-benteng, ada yang bertugas menyelam di laut untuk mengeluarkan mutiara dan batu-batu mulia, sebagaimana Allah memberi kekuasaan pada Sulaiman atas syaitan-syaitan yang kafir sehingga ia mampu mengikat mereka untuk mencegah kejahatan mereka. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga memberinya mukjizat berupa kemampuan mengerti bahasa binatang.
Kearifan Nabi Sulaiman Alaihissalam sebagai hakim
Pada suatu malam, sekelompok kambing memasuki kebun seseorang tanpa sepengetahuan penggembalanya, hingga rusaklah tanaman di kebun itu. Maka pemilik kebun kemudian datang mengadu kepada hakim Daud Alaihissalam. “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami telah membajak tanah kami dan menanaminya serta memeliharanya. Tapi ketika tiba waktu panen, datanglah kambing orang-orang ini pada suatu malam dan memakan tanaman di kebun kami hingga habis seluruhnya.”
“Benarkah apa yang dikatakan oleh mereka ini?” tanya Daud.  “Ya,” jawab mereka.
Kemudian Daud bertanya tentang harga tanaman dari orang yang satu dan harga kambing dari orang yang lain. Ketika mengetahui harga keduanya hampir sama, maka ia pun berkata kepada pemilik kambing, “Berikanlah kambingmu kepada pemilik tanaman sebagai ganti rugi bagi mereka atas binasanya tanaman mereka.”
Namun putranya Sulaiman yang hadir menyaksikan pengadilan ini memberikan usul lain, “Saya mempunyai pendapat yang berbeda dalam perkara ini. Menurut saya, pemilik kambing sebaiknya memberikan kambing mereka kepada pemilik tanaman, dan mengambil manfaatnya berupa bulu wol, susu, dan anak-anak kambing tsb. Sedangkan ia sendiri mengambil alih tanaman yang telah rusak itu, menanaminya kembali dan mengairi serta memeliharanya hingga tumbuh tanamannya. Apabila telah tiba waktu panen, mereka harus menyerahkan hasil tanaman itu kepada pemiliknya, dan menerima kembali kambing mereka. Dengan demikian semua pihak akan mendapatkan keuntungan dan manfaat.”
Luar biasa bijaksana dan arifnya Nabi Sulaiman ini dalam memberikan keputusan. Semua pihak pun langsung menyetujui usulnya yang hebat itu. Berkatalah Daud pada putranya, “Engkau telah memutuskan hukum dengan tepat, anakku.” Dan ia pun berfatwa seperti apa yang diputuskan oleh Sulaiman.
Kisah ini diceritakan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiyâ’: 78-79.
Kisah Nabi Sulaiman Alaihissalam dan Ratu Bilqis
Pada suatu hari, Nabi Sulaiman mengadakan apel besar bagi seluruh bala tentaranya, baik dari golongan manusia, jin, syetan, dan binatang, semua diperintahkan untuk berkumpul menghadap Nabi Sulaiman Alaihissalam. Semua sudah hadir kecuali seekor burung bernama Hudhud.
“Mengapa burung Hudhud belum datang?” tanya Nabi Sulaiman. “Sesungguhnya jika ia tidak bisa memberi alasan yang jelas atas keterlambatannya, sebagai hukuman aku akan menyembelihnya.”
Tak berapa lama kemudian burung itu datang dan bersujud di hadapan nabi Sulaiman. Hampir saja burung itu terkena hukuman kalau tidak segera mengajukan alasa kenapa ia terlambat datang.
“Ampunilah hamba Tuanku, hamba memang telah terlambat. Tetapi hamba membawa kabar yang sangat penting. Di negeri Saba hiduplah seorang Ratu yang bernama Ratu Bilqis. Ia mempunyai singgasana yang agung. Kerajaannya luas dan rakyatnya hidup dengan makmur. Namun sayang mereka tidak menyembah Allah. Mereka disesatkan oleh iblis sehingga menyembah matahari.”
Menjawablah Nabi Sulaiman, “Aku percaya dengan berita yang kaubawa itu. Tetapi aku akan menyelidiki dulu kebenaran beritamu. Bawalah suratku untuk Ratu Bilqis. Kalau sudah diterimanya nanti, sembunyilah kau di celah-celah jendela, dan dengarkanlah apa yang akan dilakukannya.”
Maka terbanglah burung Hudhud ke negeri Saba yang terletak di kota Yaman. Ia menyerahkan surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Bilqis. Kemudian sesuai perintah, ia bersembunyi di balik celah jendela. Ratu Bilqis membaca surat itu, isinya kurang lebih seperti ini:
Surat ini datang dari Sulaiman. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”
Setelah membaca surat itu, Ratu Bilqis memanggil seluruh abdi dan penasihatnya untuk bermusyawarah. Ratu Bilqis tidak ingin terjadi peperangan yang hanya merusak keindahan istana dan merugikan rakyat. Maka sebagai hasil dari musyawarah itu, diputuskan bahwa ia hanya akan mengirimkan hadian kepada Sulaiman melalui utusannya. Jika Sulaiman menerima hadiahnya, tahulah ia bahwa Sulaiman hanyalah seorang raja yang senang menerima hadiah. Tetapi jika ia seorang nabi, ia hanya ingin agar mereka mengikuti agamanya.
Berangkatlah utusan Ratu Bilqis ke Palestina dengan membawa berbagai hadiah yang indah-indah dan mahal-mahal. Ketika mereka sampai di istana Nabi Sulaiman, mereka sangat tercengang. Kerajaan Saba tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keindahan dan kemegahan kerajaan Sulaiman.
Ketika para utusan itu hendak menyerahkan hadiah mereka, dengan tegas Nabi Sulaiman menolak hadiah-hadiah itu karena ia memiliki harta benda yang jauh lebih baik daripada hadiah yang diberikan oleh Ratu Bilqis. Kepada para utusan tsb, ia meminta kedatangan Ratu Bilqis agar Ratu itu memeluk agama Islam dan meninggalkan penyembahan terhadap matahari. Jika menurut, maka kerajaan Saba akan selamat, jika membangkang maka Nabi Sulaiman akan mengerahkan bala tentaranya yang tidak mungkin akan dilawan oleh Ratu Bilqis.
Para utusan itu segera kembali ke Negeri Saba. Mereka melaporkan segala apa yang dilihatnya tentang Sulaiman dan kerajaannya yang jauh lebih besar, megah, dan kuat dibanding negeri Saba. Akhirnya diputuskanlah bahwa Ratu Bilqis akan datang memenuhi permintaan Nabi Sulaiman Alaihissalam.
Sulaiman mengetahui perjalanan Bilqis menuju ke negerinya, maka ia pun bermaksud menunjukkan suatu mukjizat kepadanya sebagai bukti atas kenabiannya. Sulaiman bertanya kepada jin yang ada di dekatnya, “Siapakah yang sanggup mendatangkan singgasana Bilqis kepadaku untuk melihat kekuasan Allah berlangsung di hadapan mereka?”
Jin Ifrit berkata, “Aku sanggup membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu.”
Akan tetapi ada seorang anak buah Sulaiman lainnya yang bernamaAshif bin Barkiya yang memiliki ilmu dari kitab-kitab Samawi berkata, “Aku sanggup mendatangkannya lebih cepat dari kejapan mata.”
Maka tiba-tiba saja singgasana itu pun telah ada di hadapan Nabi Sulaiman Alaihissalam.
Sementara itu dengan diiringi ribuan prajurit, Ratu Bilqis penguasa Saba datang menemui Nabi Sulaiman di Palestina. Ia benar-benar tercengang menyaksikan keindahan dan kemegahan kerajaan Nabi Sulaiman. Ratu Bilqis merasa malu mengingat betapa dulu ia telah mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman untuk melunakkan hatinya agar Nabi Sulaiman tidak menyerang Negeri Saba.
Ketika ia masuk ke istana Nabi Sulaiman, Nabi Sulaiman bertanya, “Apakah singgasana ini serupa dengan singgasana kerajaanmu?”.
“Ya, sepertinya memang milikku,” kata Ratu Bilqis seraya memeriksa singgasana itu. Setelah memeriksanya, akhirnya ia yakin bahwa itu memang singgasananya. Maka berkatalah ia kepada Sulaiman, “Sesungguhnya aku telah mengetahui kekuasaan Allah dan kebenaran kenabianmu sebelum ini, yaitu tatkala datang burung Hudhud membawa surat darimu. Namun yang menghalangi-halangi kami untuk menyatakan keimanan kami adalah karena kami hidup di tengah-tengah kaum yang sudah mendalam kekufurannya. Itulah yang membuat kami menyembunyikan keimanan kami hingga saat ini kami datang menghadapmu.”
Nabi Sulaiman tersenyum lalu mempersilakan Ratu Bilqis memasuki istananya. Lantai di istana itu terbuat dari kaca tipis yang di bawahnya dialiri air. Ratu Bilqis mengira itu benar-benar aliran air sungai, karenanya ia menyingkapkan sedikit kainnya hingga nampaklah betisnya. Nabi Sulaiman segera memberitahu bahwa lantai itu terbuat dari kaca putih yang tipis. Ratu Bilqis tersipu malu. Serta merta ia bersujud dan menyatakan keimanannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku, dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan Semesta Alam.”
Wafatnya Nabi Sulaiman Alaihissalam
Hampir tak seorang pun mengetahui saat kematian Nabi Sulaiman, baik dari golongan jin maupun manusia. Kematian Nabi Sulaiman Alaihissalam baru diketahui setelah tongkat yang digunakannya bersandar rapuh dimakan rayap dan beliau jatuh tersungkur ke lantai.
Doa Nabi Sulaiman telah dikabulkan Allah, yaitu tidak ada seorang pun yang memiliki kerajaan besar dan kaya raya seperti kerajaannya. Namun meskipun kaya raya dan berkuasa, Nabi Sulaiman tetap patuh dan tunduk pada perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kisah Nabi Sulaiman Alaihissalam terdapat dalam Al-Quran surat An-Naml: 15-44, dan Saba: 12-14.

Jumat, 21 Mei 2010

Berdo'alah, Pasti Allah Kabulkan Do'amu !


Allah Subhaana wa Ta`aala :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ) (البقرة:186)

Artinya : “Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah sesungguhnya Aku dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka memenuhi segala perintahKu dan hendaklah beriman kepadaKu agar mereka selalu dalam kelurusan (QS. Al Baqaroh : 186).

Makna ayat :
Ayat ini merupakan jawaban pertanyaan sebahagian sahabat yang bertanya kepada Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, mereka berkata : wahai Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam apakah Robb kita dekat?, maka kita akan bermunajat kepadaNya. Apakah Ia jauh sehingga kami memanggilNya?
Kemudian turunlah Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
Artinya : “Apabila hamba-hambaku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka jawablah sungguh Aku dekat.”
Sesungguhnya Allah Subhaana wa Ta`aala mengintai dan menyaksikan, mengamati atas yang tersembunyi dan tertutup, AllahSubhaana wa Ta`aala mengetahui 2 mata yang berkhianat dan apa yang tersirat didada-dada, juga Allah Subhaana wa Ta`aaladekat dengan orang yang meminta-Nya di kabulkan-Nya permohonannya, oleh karena itulah Allah Subhaana wa Ta`aala berfirman :
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَان
Artinya : “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepadaKu“
Dan do’a ada 2 jenis : Do’a `ibadah dan Do’a mas’alah (kebutuhan / hajat seorang hamba).
Dan dekatnya Allah Subhaana wa Ta`aala ada 2 jenis : Dekatnya Allah Subhaana wa Ta`aala dengan `ilmu-Nya terhadap segala seluruh mahluk, dan dekatnya Allah Subhaana wa Ta`aala dengan hamba-hamba-Nya dan orang yang berdo’a dalam bentuk pengkabulan do’a, pertolongan-Nya, taufik-Nya.
Maka barang siapa yang berdo’a dengan hati yang hadir disertai do’a-do’a yang disyar`iatkan, dan tidak ada penghalang untuk terkabulnya do’a, seperti makan yang haram dan sejenisnya, pasti Allah Subhaana wa Ta`aala akan memenuhi janji-Nya untuk mengabulkan do’anya. Apalagi secara khusus ia datang dengan sebab-sebab dikabulkannya do’a tersebut, tidak lain dan tidak bukan yaitu melaksanakan perintah Allah Subhaana wa Ta`aala dan meninggalkan larangan-Nya secara ucapan maupun perbuatan, dan beriman kepada-Nya, yang keseluruhan itu dalam rangka memenuhi seruan Allah Subhaana wa Ta`aala, maka pasti wajib Allah Subhaana wa Ta`aala akan kabulkan do’anya, maka oleh sebab itu Allah Subhaana wa Ta`aala berfirman :
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya : “Maka hendaklah mereka memenuhi segala perintahKu dan hendaklah beriman kepadaKu agar mereka selalu berada dalam kelurusan.
Maksudnya mereka memperoleh petunjuk yang ia merupakan hidayah untuk iman dan amal-amal sholih, serta disingkirkan dari mereka kejelekan yang menafikan iman dan amalan-amalan sholih, sebab beriman kepada Allah Subhaana wa Ta`aala dan menjawab seruan dan perintah-Nya adalah sebab untuk memperoleh ilmu sebagaimana firman Allah Subhaana wa Ta`aala :
Artinya : “Wahai orang-orang beriman apabila kalian bertaqwa, maka Allah Subhaana wa Ta`aala memberikan bagi kalian furqan (pembeda). “

Sumber bacaan : “Tafsir as Sa’adiy halaman 87 terbitan Mua’ssasah ar Risalah cet, 2002 Beirut.
Diterjemahkan oleh : Abu Zubair Aceh.

Sumber :http://tazhimussunnah.com

Kamis, 20 Mei 2010

Kisah Nabi Daud Alaihissalam


Nabi Daud Alaihissalam adalah salah seorang nabi dari Bani Israil, yaitu dari sibith Yahuda. Ia merupakan keturunan ke-13 dari Nabi Ibrahim Alaihissalam.
Thalut Sang Raja
Sesudah Nabi Harun dan Nabi Musa wafat, kaum Bani Israil dipimpin oleh Nabi Yusya’ bin Nun, yang memang telah ditunjuk oleh Nabi Musa untuk menggantikan beliau sesaat sebelum kewafatannya. Berkat kepemimpinan Yusya’ bin Nun mereka dapat menguasai tanah Palestina dan bertempat tinggal di istana. Namun setelah Yusya bin Nun wafat, mereka terpecah belah. Isi kitab Taurat berani mereka rubah dan ditambah-tambah. Mereka sering bersilang pendapat sesama mereka sendiri, hingga akhirnya hilanglah kekuatan persatuan mereka. Tanah Palestina diserbu dan dikuasai bangsa lain.
Bani Israil menjadi bangsa jajahan yang tertindas. Mereka merindukan datangnya seorang pemimpin yang tegas dan gagah berani untuk melawan penjajah. Pada suatu hari, mereka pergi menemui Nabi Samuel untuk meminta petunjuk. “Wahai Samuel, angkatlah salah seorang di antara kami sebagai Raja yang akan memimpin kita berperang melawan penjajah.”
Tetapi Nabi Samuel menjawab, “Aku khawatir bila sudah mendapat pemimpin yang dipilih Allah, kalian justru tidak mau berangkat perang.”
“Kita sudah lama menjadi bangsa tertindas,” kata mereka. “Kita tidak mau menderita lebih lama lagi.”
Karena didesak oleh kaumnya, Nabi Samuel kemudian berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar menetapkan satu di antara mereka menjadi pemimpin. Doa Nabi Samuel dikabulkan, Allah memilihThalut sebagai Raja yang memimpin mereka. Tapi ternyata begitu mendengar nama Thalut diucapkan oleh Nabi Samuel, mereka justru menolak dengan alasan bahwa Thalut tidak begitu dikenal, ia hanya seorang petani biasa yang sangat miskin.
Nabi Samuel kemudian menjelaskan bahwa walaupun Thalut itu petani biasa, namun ia pandai strategi perang, tubuhnya kekar dan kuat, dan pandai tentang ilmu tata negara. Baru akhirnya mereka mau menerima Thalut sebagai Raja mereka.
Kisah Jalut dan Daud
Thalut mengajak orang-orang yang tak punya ikatan rumah tangga dan perdagangan ke medan perang. Dengan memilih orang-orang terbaik itu, ia berharap mereka dapat memusatkan diri pada pertempuran dan tak terganggu dengan urusan rumah tangga dan perdagangan.
Salah seorang anak muda yang ikut dalam barisan Thalut adalah seorang remaja bernama Daud. Ia diperintah oleh ayahnya untuk menyertai kedua kakaknya yang maju ke medan perang. Daud tidak diperkenankan maju ke garis depan, ia hanya ditugaskan untuk melayani kedua kakaknya. Tempatnya di garis belakang. Jika kakaknya lapar atau haus, dialah yang melayani dan menyiapkan makanan dan minuman bagi mereka.
Tentara Thalut sebenarnya tidak seberapa banyak. Jauh lebih banyak dan lebih besar tentara Jalut Sang Penindas (Goliath). Jalut sendiri adalah seorang panglima perang yang bertubuh besar seperti raksasa. Setiap orang yang berhadapan dengannya selalu binasa. Tentara Thalut gemetar saat melihat keperkasaan musuh-musuhnya itu. Demi melihat tentaranya ketakutan, Thalut berdoa kepada Allah, “Ya Tuhan kami, curahkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.”
Maka dengan kekuatan doa itu mereka menyerbu tentara Jalut. Tak mengira lawan yang berjumlah sedikit itu mempunyai keberanian bagaikan singa terluka, akhirnya pasukan Jalut dapat diporak-porandakan dan lari tercerai berai.
Tinggallah Jalut Sang Panglima dan beberapa pengawalnya yang masih tersisa. Thalut dan pengikutnya tak berani berhadapan dengan raksasa itu. Lalu Thalut mengumumkan, siapa yang dapat membunuh Jalut maka ia akan diangkatnya sebagai menantu. Tak disangka dan diduga, Daud yang masih berusia remaja tampil ke depan, minta izin kepada Thalut untuk menghadapi Jalut. Mula-mula Thalut ragu, mampukah Daud yang masih sangat belia itu mengalahkan Jalut? Namun setelah didesak oleh Daud, akhirnya ia mengizinkan anak muda itu maju ke medan perang.
Dari kejauhan Thalut mengawasi sepak terjang Daud yang menantang Jalut. Jalut memang sombong. Ia telah berteriak berkali-kali, menantang orang-orang Israil untuk berperang tanding. Ia juga mengejek bangsa Israil sebagai bangsa pengecut dan hinaan-hinaan lainnya yang menyakitkan hati.
Tiba-tiba Daud muncul di hadapan Jalut. Jalut tertawa terbahak-bahak melihat anak muda itu menantangnya duel. Daud tidak membawa senjata tajam. Senjatanya hanya ketapel. Berkali-kali Jalut melayangkan pedangnya untuk membunuh Daud, namun Daud dapat menghindar dengan gesitnya. Pada suatu kesempatan, Daud berhasil melayangkan peluru ketapelnya tepat di antara kedua mata Jalut.
Jalut berteriak keras, roboh dengan dahi pecah, dan tewaslah ia. Dengan demikian menanglah pasukan Thalut melawan Jalut. Sesuai janji, Daud lalu diangkat sebagai menantu Raja Thalut. Ia dinikahkan dengan putri Thalut yang bernama Mikyai.
Daud menjadi Raja
Disamping menjadi menantu Raja, Daud juga diangkat sebagai penasihatnya. Ia dihormati semua orang, bahkan rakyatnya seolah lebih menghormati Daud daripada Thalut. Hal ini membuat Thalut iri hati. Karenanya ia berusaha mencelakakan Daud ke medan perang yang sulit. Daud ditugaskan membasmi musuh yang jauh lebih kuat dan lebih besar jumlahnya. Namun Daud justru memenangkan pertempuran itu dan kembali ke istana dengan disambut luapan kegembiraan rakyatnya.
Thalut makin merasa iri dan tersaingi atas kepopuleran Daud di mata rakyatnya. Ia terus mencoba membunuh dan menyingkirkan Daud dengan berbagai cara, namun selalu menemui kegagalan. Daud seolah selalu dilindungi Allah.
Akhirnya terjadilah perang Jalbu’ antara Thalut dan Daud serta pendukung mereka. Dalam peperangan itu Thalut tewas. Setelah kematian Thalut dan putra mahkotanya yang juga mati dalam pertempuran tsb, maka rakyat langsung mengangkat Daud sebagai Raja Israil.
Mukjizat Nabi Daud Alaihissalam
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan kitab Zabur bagi Nabi Daud Alaihissalam. Selain Zabur, keistimewaan Nabi Daud Alaihissalam lainnya adalah setiap pagi dan senja gunung-gunung bertasbih atas perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengikuti tasbihnya. Nabi Daud Alaihissalam juga memahami bahasa burung-burung. Binatang juga mengikuti tasbih Nabi Daud Alaihissalam.
Keistimewaannya dalam beribadah ini diterangkan dalam surat Shâd: 17-19 dan Saba: 10.
Selain itu kerajaannya yang kuat belum pernah sekalipun dapat terkalahkan. Sebaliknya, Nabi Daud Alaihissalam selalu mendapat kemenangan dari semua lawannya. Ia menduduki takhta kerajaan selama 40 tahun.
Diantaranya mukjizatnya adalah Nabi Daud dapat melunakkan besi seperti lilin, kemudian ia dapat merubah-rubah bentuk besi itu tanpa memerlukan api atau peralatan apapun. Dari besi itu, ia dapat membuat baju besi yang dikokohkan dengan tenunan dari bulatan-bulatan rantai yang saling menjalin secara berkesinambungan. Jenis baju ini membuat pemakainya lebih bebas bergerak, karena tidak kaku seperti baju besi biasa yang dibuat dari besi lembaran.
Tentang mukjizatnya ini disebutkan dalam surat Saba: 10 dan Al-Anbiyâ’: 80.
Nabi Daud juga dikaruniai suara yang sangat merdu sekali. Kitab Zabur yang diturunkan kepadanya selain berisi pelajaran dan peringatan, juga berisi nyanyian puji-pujian kepada Tuhan. Nyanyian ini sering juga disebut dengan Mazmur.
Nabi Daud membagi hari-harinya menjadi 4 bagian. Sehari untuk beribadah, sehari ia menjadi hakim, sehari untuk memberikan pengajaran, dan sehari lagi untuk kepentingan pribadi. Ia juga suka berpuasa. Ia melakukan puasa dua hari sekali, sehari berpuasa, sehari lagi tidak.
Peringatan Allah pada Nabi Daud Alaihissalam
Para nabi adalah manusia yang menjadi contoh teladan umat. Jika ia melakukan kesalahan, maka Allah segera memperingatkannya untuk meluruskan kesalahannya itu. Demikian pula halnya dengan Nabi Daud. Ia memiliki istri 99 orang. Ketika itu memang tidak ada pembatasan jumlah istri yang boleh dimiliki oleh seorang lelaki. Seorang lelaki biasa untuk memiliki banyak istri, terlebih lagi bagi seorang raja. Nabi Daud ingin menggenapkan istrinya menjadi 100 orang.
Pada suatu hari, datanglah dua orang lelaki mengadu kepada Nabi Daud. Seorang di antara mereka berkata, “Saudaraku ini memiliki kambing 99 ekor, sedang aku hanya memiliki seekor, tetapi ia menuntut dan mendesakku agar menyerahkan kambingku yang seekor itu kepadanya, supaya jumlah kambingnya menjadi genap 100 ekor. Ia membawa berbagai alasan yang tak bisa kubantah karena aku tak pandai berdebat.”
Daud lalu bertanya pada lelaki yang satu lagi, “Benarkah ucapan saudaramu itu?”
“Benar,” jawab lelaki itu.
Berkatalah Daud dengan marah, “Jika demikian halnya, maka saudaramu telah berbuat zalim. Aku tidak akan membiarkanmu meneruskan perbuatanmu yang semena-mena itu atau engkau akan mendapat hukuman pukulan pada wajah dan hidungmu!”
“Hai Daud!” kata lelaki itu, “Sebenarnya engkaulah yang pantas mendapat hukuman yang kau ancamkan kepadaku itu. Bukankah engkau telah mempunyai 99 istri? Tetapi mengapa kau masih menyunting lagi seorang gadis yang sudah bertunangan dengan pemuda yang menjadi tentaramu sendiri? Padahal pemuda itu sangat setia dan berbakti kepadamu.”
Nabi Daud tercengang mendengar ucapan yang tegas dan berani dari lelaki itu. Ia berpikir keras, siapakah sesungguhnya kedua orang ini? Tetapi tiba-tiba kedua pria itu sudah hilang lenyap dari pandangannya. Tahulah Nabi Daud bahwa ia telah diperingatkan Allah melalui malaikat-Nya. Ia segera bertaubat memohon ampun kepada Allah, dan Allah menerima taubatnya.
Pelanggaran terhadap Hari Sabath
Suatu ketika rakyat Nabi Daud Alaihissalam bersepakat untuk melanggar ketentuan yang menyatakan hari Sabtu (Sabath) sebagai hari besar untuk Bani Israil, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Musa Alaihissalam. Hari Sabat dikhususkan untuk melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menyucikan hati dan pikiran dengan berzikir dan bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya, serta memperbanyak amal dan diharamkan melakukan kesibukan-kesibukan yang bersifat duniawi.
Penduduk desa Ailat di tepi Laut Merah juga mematuhi perintah itu. Pada hari Sabtu mereka tidak menangkap ikan, tetapi pada hari Sabtu itu justru ikan-ikan di laut banyak menampakkan diri. Akhirnya penduduk Ailat tidak dapat menahan diri untuk melanggar larangan hari Sabtu itu. Hari Sabtu mereka gunakan untuk mengumpulkan ikan.
Azab Allah Subhanahu Wa Ta’ala pun turun kepada mereka. Wajah mereka diubah menjadi wajah yang amat buruk, kemudian terjadi gempa bumi yang dahsyat. Kisah ini diriwayatkan dalam surat Al-A’râf: 163-166.
Asal-usul Baitul Maqdis
Pada suatu hari, berjangkitlah penyakit kolera di wilayah kerajaan yang dikuasai Nabi Daud Alaihissalam. Banyak rakyat yang mati karena penyakit ini. Nabi Daud kemudian berdoa kepada Allah agar menghilangkan wabah ini, maka hilanglah penyakit itu.
Untuk menunjukkan rasa syukurnya kepada Allah, maka Nabi Daud mengajak putranya, Sulaiman, untuk membangun tempat suci, yaituBaitul Maqdis, yang sekarang kita kenal sebagai Masjidil Aqsha di Yerusalem, Palestina. Tempat inilah yang menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum beralih ke Ka’bah.
sumber:http://ahlulhadist.wordpress.com

Senin, 17 Mei 2010

Kisah Nabi Harun 'Alaihissalam


Nabi Harun Alaihissalam diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk membantu tugas kerasulan Nabi Musa Alaihissalam. Dalam berbicara, ia lebih cakap daripada Nabi Musa Alaihissalam. Ketika Nabi Musa Alaihissalam pergi ke Bukit Sina untuk menerima wahyu, umatnya dititipkan kepada Nabi Harun Alaihissalam. Namun setelah Nabi Musa Alaihissalam kembali, ia mendapati mereka telah menyembah patung anak sapi. Melihat itu, Musa sangat marah dan bersedih hati. Dalam Al Qur’an diceritakan:
Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Rabbmu? Dan Musa melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka mau membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim. (QS Al-A’râf: 150)
Akhirnya Musa pun sadar, ia lalu berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala seperti tersebut dalam Al Qur’an:
Musa berdoa: Ya Rabbku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. (QS Al-A’râf: 151)
Nabi Harun Alaihissalam wafat sebelum Nabi Musa Alaihissalam. Ia dikuburkan oleh Nabi Musa Alaihissalam di Bukit Hur di Gurun Sinai.
sumber:http://ahlulhadist.wordpress.com

Kamis, 13 Mei 2010

Nabi Musa Alaihissalam


Nabi Musa Alaihissalam diutus untuk berdakwah di negeri Mesir, dan mengajak Bani Israil menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Musa dan Harun adalah keturunan ke-4 dari Nabi Ya’qub Alaihissalam yang tinggal di Mesir sejak Nabi Yusuf berkuasa disana.
Mesir saat itu dikuasai oleh Fir’aun. Penduduknya terdiri dari 2 bangsa, yaitu penduduk asli Mesir yang disebut sebagai orang Qubti, dan orang Israil, yaitu keturunan Nabi Ya’qub Alaihissalam.
Kebanyakan orang Qubti menduduki jabatan-jabatan tinggi, sedang orang Israil hanya berkedudukan rendah, seperti buruh, pelayan dan pesuruh.
Firaun memerintah dengan tangan besi. Ia diktator bengis yang tidak berperi kemanusiaan. Mabuk dan rakus kekuasaan, sampai-sampai ia berani menyebut dirinya sebagai Tuhan.
Kekejaman Fir’aun membunuh bayi laki-laki
Suatu ketika, Fir’aun bermimpi, yang oleh dukun peramalnya mimpi itu diartikan dengan akan lahirnya seorang bayi laki-laki dari Bani Israil yang akan merampas kekuasaan raja. Seketika itu Fir’aun menginstruksikan seluruh pasukannya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir.
Ibu Musa, Yukabad, istri Imron bin Qahat bin Lewi bin Ya’qub Alaihissalam, merasa sangat gelisah karena begitu ketatnya penyelidikan para petugas. Suatu ketika ibu Musa mendapat petunjuk melalui mimpinya agar anaknya yang berusia 3 bulan dimasukkan ke dalam kotak lalu dihanyutkan ke sungai Nil. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjamin bahwa bayinya pasti akan selamat, bahkan Yukabad kelak tetap akan dapat merawatnya.
Isyarat itu dilaksanakan dengan penuh ketabahan dan tawakal. Kakak Musa diperintahkan untuk mengikuti kemana peti itu hanyut dan di tangan siapakah Musa nanti ditemukan. Kotak yang berisi bayi itu tiba-tiba tersangkut di pohon dan berhenti di belakang rumah Fir’aun. Puteri Fir’aun menemukan peti tsb, dan ia adalah seorang yang berpenyakit belang. Ketika menyentuh Musa, mendadak penyakitnya sembuh. Dengan perasaan gembira ia membawa peti itu kepada Asiah, istri Fir’aun, dan memberitahu apa yang telah terjadi. Asiah mengambil bayi itu dan berniat untuk memeliharanya.
Asiah adalah seorang yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun lantaran takut oleh kekejaman Fir’aun, ia menyembunyikan keimanannya. Ketika itu Fir’aun mendengar adanya wanita cantik bernama Asiah, dan ia pun menikahinya. Namun tatkala ia hendak menggauli istrinya itu, seluruh badannya tiba-tiba menjadi kaku sehingga ia pun tidak bisa mendekatinya, hanya bisa memandangnya.
Fir’aun merasa curiga terhadap bayi yang ditemukan istrinya, tetapi Asiah tetap bersikeras untuk memeliharanya karena ia sudah lama mendambakan anak. Bayi itu oleh Asiah diberi nama Musa, yang artinya air dan pohon (mu = air, sa = pohon).
di antara sejumlah inang pengasuh pilihan Asiah, bayi Musa hanya mau menyusu pada Yukabad, sehingga Asiah akhirnya menerima Yukabad sebagai inang pengasuh Musa. Dengan demikian janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa Yukabad tetap akan mendapatkan kembali bayinya terpenuhi.
Kisah ini dapat ditemui dalam surat Al-Qasas: 4-13.
Musa meninggalkan Mesir
Setelah selesai masa penyusuan bersama ibunya, Musa dikembalikan lagi ke istana Fir’aun. Ia dipelihara sebagaimana anak-anak raja yang lain. Berpakaian seperti Fir’aun, mengendarai kendaraan Fir’aun, sehingga ia dikenal sebagai Pangeran Musa bin Fir’aun.
Walaupun dididik dalam tradisi istana, sejak kecil Musa memahami bahwa ia bukan anak Fir’aun melainkan keturunan Bani Israil yang tertindas. Karena prihatin terhadap nasib rakyat yang dianiaya oleh keluarga raja dan para pembesar kerajaan, Musa bertekad untuk membela kaumnya yang lemah.
Suatu saat tindakan Musa membela seorang anggota kaumnya yang berkelahi melawan seorang dari golongan Fir’aun menyebabkan yang terakhir ini tewas. Seorang saksi yang melihat kejadian itu lalu melaporkan pada Fir’aun. Mengetahui bahwa Musa membela orang Israil, Fir’aun segera memerintahkan orang untuk menangkap Musa. Akhirnya Musa melarikan diri dan memutuskan untuk meninggalkan Mesir. Ia bertaubat dan memohon ampun kepada Allah. Saat itu ia berusia 18 tahun.
Kisah ini terdapat dalam surat Al-Qasas: 14-21.
Musa pergi ke Madyan, kota tempat tinggal Nabi Syu’aib Alaihissalam. Dari Mesir ke Madyan harus ditempuh berjalan kaki selama 8 hari. Karena kelelahan dan merasa lapar, Musa beristirahat di bawah pepohonan. Tak jauh dari tempatnya beristirahat, ia melihat dua orang gadis berusaha berebut untuk mendapatkan air di sumur guna memberi minum ternak yang mereka gembalakan. Kedua gadis itu berebutan dengan sekelompok pria-pria kasar yang tampak tidak mau mengalah.
Melihat itu, Musa segera bergerak menolong kedua gadis tsb. Laki-laki kasar tadi mencoba melawan Musa, tapi Musa dapat mengalahkan mereka.
Musa menikah
Kedua gadis ini tak lain adalah putri-putri Nabi Syu’aib Alaihissalam. Mereka lalu melaporkan kejadian yang telah dialami bersama Musa kepada ayah mereka. Syu’aib lalu menyuruh kedua putrinya untuk mengundang Musa datang ke rumah mereka.
Musa memenuhi undangan itu. Keluarga Syu’aib sangat senang melihat Musa. Sikapnya sopan dan tampak sekali ia seorang pemuda bermartabat dari kalangan bangsawan. Kepada Syu’aib, Musa menceritakan peristiwa pembunuhan yang telah dilakukannya, yang menyebabkan ia terusir dari Mesir. Syu’aib menyarankan agar ia tetap tinggal di rumahnya agar terhindar dari kejaran orang-orang Fir’aun.
Syu’aib bermaksud menikahkan Musa dengan salah seorang putrinya. Sebagai syarat mas kawin, Musa diminta bekerja menggembalakan ternak-ternak milik Nabi Syu’aib selama 8 tahun. Musa menyanggupi syarat tsb, bahkan ia menggenapkan masa kerjanya menjadi 10 tahun. Ia menjalani pekerjaannya dengan sabar. Selama itu, nampaklah oleh keluarga Syu’aib bahwa Musa adalah pemuda yang kuat, perkasa, jujur dan dapat diandalkan. Tak salah jika Nabi Syu’aib mengambilnya sebagai menantu.
Musa sangat bahagia hidup bersama istrinya. Nabi Syu’aib juga lega karena anaknya mendapat pelindung yang dapat dipercaya.
Kisah tentang hal ini terdapat dalam surat Al-Qasas: 22-28.
Musa kembali ke Mesir
Sepuluh tahun setelah meninggalkan Mesir, Musa berniat kembali ke sana bersama istrinya. Musa sadar, tidak mustahil bahwa orang-orang Mesir masih akan mencarinya, oleh sebab itu ia dan istrinya tidak berani melalui jalan biasa melainkan memilih jalan memutar.
Sampai suatu malam, mereka tersesat tak tahu arah mana yang harus ditempuh untuk meneruskan perjalanan ke Mesir. Saat itulah Musa melihat ada cahaya api terang benderang di atas sebuah bukit. Musa berkata kepada istrinya, “Tunggu disini, aku akan mengambil api itu untuk menerangi jalan kita.”
Tatkala Musa menghampiri api tsb, tiba-tiba terdengar suara menyeru, “Hai Musa! Aku ini adalah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah suciThuwa. Dan aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.”
Inilah wahyu pertama yang diterima langsung oleh Nabi Musa Alaihissalam. Dengan diterimanya wahyu ini, maka Musa telah diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Sebagai rasul, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberinya mukjizat berupa tongkat yang bisa berubah menjadi ular dan tangannya yang dapat bersinar putih cemerlang setelah dikepitkan di ketiaknya.
Kisah ini dapat dilihat pada surat Tâhâ: 9-23.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa Alaihissalam untuk berdakwah kepada Fir’aun. Musa masih merasa takut karena dulu ia pernah membunuh orang Mesir, namun Allah menjanjikan perlindungan untuknya, maka tentramlah hatinya. Untuk lebih memantapkan dakwahnya, Musa memohon kepada Allah agar ia ditemani oleh Harun, saudaranya, karena Harun amat cakap dalam berbicara dan berdebat. Permintaan Musa dikabulkan. Harun yang masih berada di Mesir digerakkan hatinya oleh Allah sehingga ia berjalan menemui Musa.
Hal tsb dinyatakan dalam surat Al-Qasas: 32-35 dan surat Tâhâ: 42-47.
Akhirnya bersama-sama Harun, Musa menghadap Fir’aun. Ia mengadakan dialog dengan Fir’aun tentang Tuhan. Namun Fir’aun menanggapinya dengan sinis dan mengejek Musa tak tahu diri. Dulu ia diasuh dan dibesarkan di istana Mesir, tapi kini ia malah berbalik menentang Fir’aun. Musa menjawab bahwa semua itu terjadi disebabkan karena ulah Fir’aun sendiri. Seandainya Fir’aun tidak memerintahkan membunuh bayi laki-laki, tidak mungkin ia dihanyutkan di sungai Nil sampai akhirnya ditemukan dan diangkat anak oleh istri Fir’aun. Musa tidak merasa berhutang budi pada Fir’aun.
Musa mengatakan bahwa sesungguhnya Fir’aun bukanlah Tuhan. Ada Tuhan lain yang berhak disembah, Tuhan nenek moyang mereka, Tuhan seluruh alam semesta. Fir’aun sangat murka dan meminta Musa untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Keberhasilan Musa melawan ahli-ahli sihir Fir’aun
Di depan masyarakat luas, Nabi Musa Alaihissalam dapat menunjukkan mukjizatnya menghadapi ahli-ahli sihir Fir’aun. Musa mempersilakan ahli-ahli sihir Fir’aun untuk mempertunjukkan kebolehan mereka lebih dulu. Mereka lalu melemparkan tali dan tongkat-tongkatnya. Tak lama kemudian tali-tali dan tongkat-tongkat itu berubah menjadi ular yang ribuan ekor banyaknya. Fir’aun tertawa bangga menyaksikan kebolehan para ahli sihirnya. Masyarakat yang hadir disana juga terkagum-kagum.
Dengan tenang Musa melemparkan tongkatnya, tongkat itu segera berubah menjadi ular yang sangat besar dan langsung melahap ular-ular para ahli sihir Fir’aun. Dalam waktu singkat, ular-ular itu habis ditelan oleh ular Nabi Musa.
Para ahli sihir itu terbelalak heran. Apa yang diperlihatkan Musa bukanlah seperti sihir yang mereka pelajari dari syaitan. Sadar akan hal itu, para ahli sihir tsb berlutut kepada Musa, dan menyatakan diri sebagai pengikut ajaran yang dibawanya. Mereka bertaubat dan hanya akan menyembah Allah saja.
Kisah ini dijelaskan dalam surat Asy-Syu’arâ’: 18-51
Fir’aun sangat murka melihat pembelotan para ahli sihir yang telah bertaubat itu. Ia mengancam akan menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat kejam, namun para ahli sihir itu tetap memilih menjadi pengikut Musa. Akhirnya Fir’aun memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki mereka, serta menyalib mereka di batang pohon kurma. Mereka pun menerimanya dengan sabar dan tetap beriman kepada Allah. Jumlah mereka saat itu 70 orang.
Azab bagi Fir’aun dan pengikutnya
Kejengkelan Fir’aun memuncak setelah Nabi Musa Alaihissalam memperoleh pengikut yang lebih banyak. Fir’aun menjadi semakin kejam terhadap Bani Israil. Nabi Musa Alaihissalam senantiasa menyuruh kaumnya untuk bersabar menghadapi kesewenang-wenangan Fir’aun. Fir’aun pun tak henti-hentinya mengejek dan menghina Musa.
Karena semakin lama tindakan Fir’aun makin merajalela, Nabi Musa Alaihissalam berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar Fir’aun dan pengikutnya diberi azab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan doa Musa. Kerajaan Fir’aun dilanda krisis keuangan. Selain itu wilayah Mesir dilanda kemarau panjang. Banyak panen yang gagal, tanaman dan pepohonan banyak yang mati, disusul badai topan yang merobohkan rumah-rumah mereka. Jutaan belalang berdatangan menyerbu hewan dan perkebunan, juga kutu dan katak. Setelah kemarau, muncul banjir besar. Akibat banjir itu kemudian juga muncul wabah penyakit. Anak laki-laki bangsa Mesir mendadak mati, tak terkecuali anak-anak Fir’aun sendiri, termasuk putra mahkota.
Pengikut Fir’aun mendatangi Nabi Musa Alaihissalam untuk memohon agar azab itu dicabut dari mereka dengan janji mereka akan beriman. Namun ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan permintaan itu, mereka ingkar terhadap janjinya.
Riwayat ini terdapat dalam surat Al-Mu’minûn: 26, Az-Zukhruf: 51-54, Yûnus: 88-89, dan Al-A’râf: 130-135.
Peristiwa Laut Merah terbelah
Bani Israil yang makin menderita karena ulah Fir’aun dan pengikutnya meminta Nabi Musa Alaihissalam untuk membawa mereka keluar dari Mesir. Setelah mendapat wahyu dari Allah agar mengajak kaumnya pergi meninggalkan Mesir, Musa lalu membawa kaumnya ke Baitulmakdis. Mereka pergi secara diam-diam di malam hari. Ketika sampai di tepi Laut Merah, mereka baru menyadari bahwa tentara Fir’aun mengejar mereka. Para pengikut Musa sangat panik karena tidak bisa lari kemana pun. Saat itulah turun wahyu agar Musa memukulkan tongkatnya ke laut. Laut pun membelah hingga terbentang jalan bagi Musa dan pengikutnya untuk menyeberang. Fir’aun dan tentaranya mengejar rombongan itu, namun ketika Musa dan pengikutnya telah sampai di tepi sementara Fir’aun dan tentaranya masih di tengah laut, atas perintah Allah laut pun kembali menutup hingga Fir’aun dan pasukannya tenggelam.
Di saat-saat terakhir menjelang kematiannya, Fir’aun sempat bertaubat dan menyatakan diri beriman kepada Allah. Namun taubat menjelang ajal yang dilakukan oleh Fir’aun itu sudah terlambat dan tidak lagi diterima oleh Allah, sehingga matilah ia dalam keadaan tetap kafir.
Kisah tentang ini terdapat dalam surat Tâhâ: 77-79, Asy-Syu’arâ: 60-68, dan Yûnus: 90-92.
Ternyata, mayat Fir’aun tetap utuh sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Yûnus: 92, sebagai tanda bagi umat yang kemudian. Ini telah terbukti dengan diketemukannya mummi Fir’aun (Pharaoh) di Mesir pada abad ke-20 M.
Karunia bagi Bani Israil
Dalam perjalanan ke Mesir, Bani Israil sangat manja. Saat mereka haus, Musa memukulkan tongkatnya ke batu. Dari batu tsb, memancarlah 12 mata air, sesuai dengan jumlah suku (sibith) Bani Israil, sehingga masing-masing suku memiliki mata air sendiri.
Di Gurun Sinai yang panas terik, tak ada rumah untuk dihuni, tak ada pohon untuk berteduh, maka Allah menaungi mereka dengan awan.
Ketika bekal makanan dan minuman mereka habis, mereka pun meminta Musa memohon pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar diberikan makanan dan minuman, maka Allah menurunkan kepada mereka Manna dan Salwa. Manna adalah makanan yang turun dari udara seperti turunnya embun, turun di atas batu dan daun pohon. Rasanya manis seperti madu. Sedang Salwa adalah sejenis burung puyuh yang datang berbondong-bondong silih berganti sampai-sampai hampir menutupi bumi lantaran banyaknya.
Mendapat karunia dan rezki yang demikian melimpahnya dari Allah, Bani Israil bukannya bersyukur, malah mereka meminta makanan dari jenis yang lain lagi. Disinilah mulai terlihat betapa Bani Israil itu sangat kufur terhadap nikmat Allah.
Berbagai tuntutan dan permintaan dari Bani Israil ini diceritakan dalam surat Al-A’râf: 160 dan Al-Baqarah: 61.
Turunnya kitab Taurat
Setelah persoalan dengan Fir’aun selesai, Nabi Musa Alaihissalam memohon untuk diberikan kitab suci sebagai pedoman. Allah Subhanahu Wa Ta’ala lalu memerintahkan Nabi Musa Alaihissalam untuk berpuasa selama 30 hari dan pergi berkhalwat ke Bukit Thur Al-Aiman atau Thursina. Sebelum pergi, Musa meminta Harun menjadi wakilnya untuk mengurus kaumnya.
Setelah berpuasa selama 30 hari, Allah memerintahkannya berpuasa 10 hari lagi untuk menggenapkan ibadahnya menjadi 40 hari. Setelah itu Allah berbicara kepadanya dengan Kalam-Nya yang Azali, sehingga Musa pun memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh manusia lain.
Dalam kesempatan bermunajat di Bukit Thursina ini, timbul kerinduan Musa untuk bertemu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia pun meminta agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengizinkan dirinya untuk melihat Zat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan bahwa ia telah meminta sesuatu yang diluar kesanggupannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala kemudian menyuruh Musa untuk melihat ke sebuah bukit. Allah akan menampakkan wujudnya kepada bukit itu. Jika bukit itu tetap tegak berdiri, maka Musa dapat melihat-Nya, namun jika bukit yang lebih besar darinya itu tak mampu bertahan, maka lebih-lebih lagi dirinya. Ketika Musa mengarahkan pandangan ke bukit tsb, seketika itu juga bukit itu hancur luluh. Melihat itu Musa merasa terkejut dan ngeri, ia pun jatuh pingsan.
Setelah sadar, ia bertasbih dan bertahmid seraya memohon ampun kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas kelancangannya. Selanjutnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kitab Tauratsebagai kitab suci yang berupa kepingan-kepingan batu. Di dalamnya tertulis pedoman hidup dan penuntun beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kisah munajat Nabi Musa Alaihissalam di Bukit Thursina ini diceritakan dalam surat Al-A’râf: 142-145.
Patung anak sapi
Sepeninggal Nabi Musa Alaihissalam, Bani Israil dihasut oleh seorang munafik bernama Samiri. Karena keyakinan tauhid mereka yang memang belum terlalu tebal, dengan mudah mereka termakan hasutan Samiri. Bani Israil membuat patung anak sapi yang disembah sebagai tuhan mereka.
Sebelum pergi ke bukit Thursina, Musa berkata kepada kaumnya bahwa ia akan meninggalkan mereka tidak lebih dari 30 hari. Ketika Allah memerintahkannya untuk menambah ibadahnya 10 hari lagi sehingga bertambah lama kepergiannya, maka mereka menganggapnya telah melupakannya. Samiri mengatakan kepada Bani Israil bahwa keterlambatan Musa ini disebabkan karena mereka telah membuat marah Tuhan dengan mengambil perhiasan-perhiasan dari kuburan orang-orang Mesir. Maka untuk meminta ampun kepada Tuhan dan agar Musa mau kembali pada mereka, mereka harus melemparkan perhiasan-perhiasan tsb ke dalam api.
Mereka pun percaya dengan hasutan Samiri. Para wanita-wanita Bani Israil lalu melemparkan perhiasan-perhiasan emas mereka ke dalam api. Dari emas yang terkumpul itu Samiri lalu membuat patung anak sapi. Dengan teknik khusus, ia membuat angin bisa masuk dan menimbulkan suara dari mulut patung itu sehingga seolah-olah patung itu dapat berbicara. Kemudian Samiri menyuruh Bani Israil untuk menyembahnya.
Nabi Harun Alaihissalam tidak berdaya menghadapi kaumnya yang kembali murtad itu. Ketika Nabi Musa Alaihissalam kembali, ia sangat marah dan bersedih hati melihat perilaku kaumnya. Mula-mula ia pun marah kepada Harun yang dianggapnya tidak bisa menjaga kaumnya dengan baik, namun setelah mendengar penjelasan dari Harun, ia pun tenang kembali. Ia mengusir Samiri dan menjelaskan pada kaumnya tentang perbuatan mereka yang salah. Sebagai hukuman, Samiri diberi kutukan oleh Allah, jika ia disentuh atau menyentuh manusia, maka badannya akan menjadi panas demam. Itulah azab Samiri di dunia, seumur hidupnya ia tidak bisa berhubungan dengan siapa pun.
Setelah Samiri pergi, Musa membakar patung anak sapi sembahan Bani Israil dan membuang abunya ke laut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala kemudian memerintahkan Musa Alaihissalam agar membawa sekelompok kaumnya untuk memohon ampun atas dosa mereka menyembah patung anak sapi. Musa mengajak 70 orang terpilih dari Bani Israil ke Bukit Thursina. Setelah mereka berpuasa menyucikan diri, muncullah awan tebal di bukit itu. Nabi Musa Alaihissalam dan rombongannya memasuki awan gelap itu dan bersujud. Ketika bersujud, 70 orang itu mendengar percakapan antara Nabi Musa Alaihissalam dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Timbul keinginan mereka untuk melihat Zat Allah. Bahkan mereka menyatakan tidak akan beriman sebelum melihat-Nya. Seketika itu pula tubuh mereka tersambar halilintar hingga mereka pun tewas.
Nabi Musa Alaihissalam memohon agar kaumnya diampuni dan dihidupkan kembali. Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala pun membangkitkan kembali 70 orang pengikut Musa itu. Musa lalu menyuruh mereka bersumpah untuk berpegang teguh pada kitab Taurat sebagai pedoman hidup, dan beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Cerita ini terdapat dalam Al Qur’an surat Al-A’râf: 149-155 dan Al-Baqarah: 55, 56, 63, 64.
Sapi Betina (Al Baqarah)
Suatu hari terjadi peristiwa pembunuhan di antara kaum Nabi Musa. Untuk mengetahui siapa pembunuh orang tsb, atas petunjuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Musa memerintahkan kaumnya untuk mencari seekor sapi betina. Dengan lidah sapi itu nantinya mayat yang terbunuh akan dipukul dan akan hidup lagi atas kehendak dan izin dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kaum Bani Israil sebenarnya enggan melaksanakan perintah ini, karenanya mereka sangat cerewet dan banyak bertanya dengan harapan supaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akhirnya membatalkannya, sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah: 67-71.
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. Mereka berkata: Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan? Musa menjawab: Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil. (QS. 2:67)
Mereka menjawab: Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami, agar dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu? Musa menjawab: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. (QS. 2:68)
Mereka berkata: Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya. Musa menjawab: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya. (QS. 2:69)
Mereka berkata: Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu). (QS. 2:70)
Musa berkata: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya. Mereka berkata: Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya. Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (QS. 2:71)
Nama surat Al-Baqarah yang berarti sapi betina diambil karena dalam surat ini terdapat kisah penyembelihan sapi betina.
Dapat dilihat pada ayat-ayat tsb bahwa sikap Bani Israil yang cerewet justru telah menyulitkan mereka sendiri. Seandainya ketika diperintahkan pertama kali mereka langsung melaksanakannya, tentulah mereka tidak akan repot, tetapi mereka malah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang rumit sehingga hampir saja mereka tidak dapat menemukan sapi sesuai ciri-ciri yang diterangkan oleh Musa.
Begitu sapi sudah diperoleh, mereka lalu menyembelihnya dan lidah sapi itu dipukulkan ke tubuh mayat orang yang terbunuh. Seketika itu ia menjadi hidup kembali dan menceritakan bahwa ia telah dibunuh oleh sepupunya sendiri.
Allah mengharamkan tanah Palestina bagi Bani Israil
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa Alaihissalam membawa kaumnya ke Palestina, tempat suci yang telah dijanjikan bagi Nabi Ibrahim Alaihissalam sebagai tempat tinggal anak cucunya. Bani Israil yang telah mendapat berbagai karunia dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah kaum yang keras kepala dan tidak bersyukur.
Sebelum mengajak kaumnya berhijrah, Musa mengutus perintis jalan untuk menyelidiki tentang penduduk penghuni Palestina. Ketika kembali, para perintis jalan itu mengabarkan bahwa tanah suci tsb dihuni oleh suku Kana’an yang kuat-kuat, dan kota-kotanya memiliki benteng yang kokoh. Mengetahui hal itu, merasa gentarlah Bani Israil dan tidak mau mematuhi perintah Musa untuk menyerang. Mereka hanya mau kesana jika suku itu telah disingkirkan terlebih dahulu.
Nabi Musa Alaihissalam sangat marah terhadap sikap kaumnya itu, karena sikap tsb mencerminkan bahwa mereka belum benar-benar beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berjanji bahwa dengan pertolongan-Nya mereka akan mampu mengalahkan suku Kana’an. Di antara Bani Israil itu, ada 2 orang bertakwa yang menasihati mereka agar masuk dari pintu kota supaya mereka bisa menang. Akan tetapi Bani Israil menolak nasihat itu dan melontarkan kepada Musa kalimat yang menunjukkan pembangkangan dan sifat pengecut, “Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, sementara kami menunggu di sini.”
Habislah kesabaran Musa. Ia lalu memanjatkan doa agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan putusan-Nya atas sikap kaumnya. Sebagai hukuman bagi Bani Israil yang menolak perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengharamkan wilayah Palestina selama 40 tahun bagi mereka. Mereka akan tersesat, padahal tanah yang dijanjikan sudah ada di depan mata. Selama itu mereka akan berkeliaran di muka bumi tanpa memiliki tempat bermukim yang tetap.
Hal ini dikisahkan dalam surat Al-Maidah: 20-26.
Pertemuan Musa dengan orang saleh
Pada suatu kesempatan berkhutbah di hadapan kaumnya, Nabi Musa Alaihissalam mengatakan bahwa dirinyalah yang paling pandai dan berpengetahuan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegur sikapnya ini dan berfirman, “Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba di tepi laut yang lebih pandai darimu.”
Berkatalah Musa, “Wahai Tuhanku, apa yang harus kuperbuat untuk bertemu dengannya?”
Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan kecil dan letakkan di dalam keranjang. Dimanapun engkau kehilangan ikan itu, maka disitulah ia berada.”
Musa melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah kepadanya. Ia mengambil seekor ikan kecil, kemudian ia pergi dengan ditemani seorang sahayanya. Saat mereka tiba di pertemuan antara dua buah laut, mereka duduk sejenak untuk beristirahat. Tertidurlah mereka, sementara saat itu turun hujan sehingga ikan yang mereka bawa dapat melompat dan meluncur ke laut.
Sahaya Musa mengetahui hal ini, namun ia lupa memberitahukannya kepada Musa. Mereka terus melanjutkan perjalanan. Ketika mereka merasa lapar dan hendak makan, saat itulah sahaya Musa teringat akan ikan yang hilang itu, maka ia pun memberitahu Musa. Mendengar itu Musa sangat gembira. “Inilah yang kita cari. Mari kita kembali untuk mengikuti jejak dimana ikan itu hilang.”
Belum sampai di tempat yang dituju, Musa telah bertemu dengan orang yang dimaksud. Hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang saleh itu dikenal dengan nama Nabi Khidir Alaihissalam. Nabi Musa Alaihissalam yang ingin belajar dari hamba-Nya yang saleh itu meminta agar diizinkan mengikuti Nabi Khidir. Nabi Khidir menjawab bahwa ia tidak akan dapat sabar atas keikutsertaannya, karena ia akan melihat tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syariatnya. Namun Musa berkata bahwa ia akan bersabar dan tidak akan menentang urusan Nabi Khidir. Akhirnya Nabi Khidir mengizinkan Musa untuk mengikutinya, namun dengan syarat bahwa Musa tidak boleh mempertanyakan tindakan-tindakan yang akan dilakukannya, karena pada akhirnya ia akan menceritakan rahasia di balik tindakan-tindakannya itu.
Pergilah Musa bersama Nabi Khidir menyusuri tepi laut. Tiba-tiba lewat di depan mereka sebuah kapal, maka keduanya meminta kepada penumpang-penumpangnya untuk mengangkut mereka. Mereka diizinkan menumpang, lalu keduanya pun naik ke kapal itu. Saat para penumpang lengah, Nabi Khidir melubangi dinding kapal yang terbuat dari kayu itu sedemikian rupa sehingga kerusakannya akan mudah untuk diperbaiki. Musa yang melihat kejadian ini merasa ngeri dan tanpa sadar ia lupa dengan perjanjiannya untuk tidak mengajukan pertanyaan apa pun, maka ia pun berkata, “Apakah engkau merusak kapal orang-orang yang telah menghormati kita? Engkau telah melakukan sesuatu yang tercela.”
Nabi Khidir mengingatkan kepada Musa akan perjanjian mereka, maka sadarlah Musa, ia meminta supaya jangan dihukum atas kelupaannya ini. Keduanya lalu meneruskan perjalanan dan bertemu dengan seorang anak yang sedang bermain bersama kawan-kawannya. Nabi Khidir lalu membujuk anak itu ikut dengannya dan membawanya ke tempat yang agak jauh dari teman-temannya, lalu ia membunuhnya. Panas hati Musa melihat perbuatan yang keji ini sehingga dengan marah ia berkata, “Apakah engkau membunuh jiwa yang suci bersih tanpa dosa? Engkau telah berbuat sesuatu yang mungkar.”
Nabi Khidir kembali mengingatkan Musa akan syarat yang berlaku antara keduanya. Musa menyesal atas ketidaksabarannya. Ia pun berkata, “Jika setelah ini aku bertanya lagi kepadamu, maka janganlah menemani aku, karena sudah cukup alasan bagiku untuk berpisah denganmu.”
Kemudian keduanya pun meneruskan perjalanan kembali. Saat merasa haus dan lapar, masuklah mereka ke sebuah desa. Mereka meminta kepada penghuninya supaya bersedia memberi mereka makan dan menjadikan mereka sebagai tamu, namun permintaan mereka ini ditolak dengan kasar oleh penghuni desa tsb.
Dalam perjalanan pulang, mereka mendapati sebuah dinding yang hampir roboh. Nabi Khidir lalu memperbaiki dinding yang roboh itu dan mendirikan bangunannya. Melihat ini, Musa tidak tahan lalu bertanya, “Apakah engkau mau membalas orang-orang yang telah mengusir kita dengan memperbaiki dinding rumah mereka? Andaikata engkau kehendaki, engkau bisa meminta upah atas pekerjaanmu untuk membeli makanan.”
Dengan timbulnya pertanyaan Musa ini, maka berpisahlah ia dengan Nabi Khidir. Namun sebelum berpisah, Nabi Khidir menjelaskan rahasia-rahasia perbuatannya. Ia berkata, “Mengenai kapal yang aku lubangi dindingnya, itu adalah kepunyaan beberapa orang miskin yang tidak punya harta selain itu, dan aku mengetahui bahwa ada seorang raja yang suka merampas setiap kapal yang baik dari pemiliknya. Sebab itu aku merusaknya sedikit supaya nantinya mudah diperbaiki lagi, dan bila raja melihatnya ia pun menduga kapal itu adalah kapal yang buruk sehingga ia akan membiarkannya pada pemiliknya dan selamatlah kapal itu pada mereka.
Mengenai anak kecil yang aku bunuh, ia adalah seorang anak yang menampakkan tanda-tanda kerusakan sejak kecil, sedang kedua orangtuanya adalah orang-orang yang beriman dan saleh. Aku khawatir rasa kasih sayang orangtua terhadap anaknya akan membuat mereka menyeleweng dari kesalehan mereka dan menjerumuskannya ke dalam kekafiran dan kesombongan, maka aku pun membunuhnya untuk menenangkan kedua orangtua yang beriman ini, dan anak yang jahat itu semoga akan diberi gantinya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan anak yang lebih baik dan lebih berbakti serta lebih sayang kepada kedua orangtuanya.
Adapun dinding rumah yang kudirikan, itu adalah milik dua anak yatim di kota itu yang di bawahnya terdapat harta terpendam kepunyaan mereka, dan ayah mereka adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu yang Maha Pemurah ingin menjaga harta itu bagi mereka sampai mereka dewasa dan mengeluarkannya.
Semua yang kuperbuat itu bukanlah atas usahaku, melainkan itu adalah wahyu dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan inilah penjelasan dari kejadian-kejadian yang mana engkau tidak bisa bersabar.”
Kisah pertemuan Nabi Musa Alaihissalam dan Nabi Khidir Alaihissalam ini terdapat dalam surat Al-Kahfi: 60-82.
Kisah Qarun dan hartanya
Tersebutlah seorang pengikut Nabi Musa Alaihissalam yang sangat kaya, yang bernama Qarun. Meskipun sangat kaya, namun ia tidak mau menyedekahkan hartanya bagi fakir miskin. Nasihat-nasihat Nabi Musa Alaihissalam tidak dipedulikannya, bahkan ia mengejek dan memfitnah Nabi Musa Alaihissalam.
Guna memberi pelajaran pada Qarun dan memberi contoh pada kaumnya, Musa memanjatkan doa agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan azabnya pada diri hartawan itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala lalu memberi azab dengan menguburkan semua harta kekayaan beserta diri Qarun melalui bencana tanah longsor yang dahsyat.
Kisah Qarun dan hartanya ini terdapat dalam surat Al-Qasas: 76-82.
Larangan hari sabath
Sesuai dengan syariat dalam Taurat, Nabi Musa menentukan hari Sabtu sebagai hari untuk berkumpul dan beribadah. Pada hari itu kaum Bani Israil dilarang untuk melakukan usaha apa pun, termasuk berniaga dan mencari ikan. Namun pada hari Sabtu tsb justru ikan-ikan sangat banyak terlihat di laut.
Sesungguhnya ini merupakan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji keimanan dan ketaatan Bani Israil. Ternyata mereka tidak tahan dengan ujian ini dan melanggar larangan hari Sabath, oleh sebab itu Allah kemudian mengutuk sebagian mereka menjadi kera.
Hal ini disebutkan dalam surat Al-Baqarah: 65 dan Al-A’râf: 166.
sumber:http://ahlulhadist.wordpress.com

Rabu, 12 Mei 2010

Adzab Qubur dan Kenikmatannya



الحمد لله والصلاة السلام على رسول الله صلى الله عليه وسلم، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وبعد
Dari Ibnu `Umar radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ فقال هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya salah seorang kalian apabila dia mati, diperlihatkan padanya tempat duduknya (di akhirat) pagi dan sore, kalau seandainya dia salah seorang penduduk Jannah maka dia sebagai penduduk Jannah, kalau seandainya dia salah seorang penduduk neraka maka dia sebagai penduduk neraka, lalu dikatakan padanya : “Inilah tempat kamu sampai Allah Ta`ala membangkitkan kamu di hari kiamat”.[1]
Maka hadist ini salah satu dari sekian banyak dalil dari al Quran dan as Sunnah yang menetapkan tentang kepastian adzab qubur dan kenikmatannya, dan sesungguhnya wajib beriman dengan hal tersebut dan mempersiapkan diri untuk itu.
Allah Ta`ala berfirman :
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ (88) فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ (89) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (90) فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (91) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ (92) فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ (93) وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ (94) إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ (95
“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah Ta’ala), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta jannah kenikmatan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatanlah bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam Jahannam. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar”. (QS. Al Waaqi`ah : 88-95)
Berkata al Imam Ibnu Katsir : “Keadaan ini merupakan keadaan manusia ketika dalam sekarat, apakah dia termasuk kepada orang-orang yang didekatkan (kepada Allah Ta’ala), atau bukan orang-orang yang didekatkan, dan apakah dia termasuk sebagai golongan kanan, atau dia termasuk kepada golongan mendustakan kebenaran yang lagi sesat dari petunjuk, yang lagi bodoh dengan perintah Allah Tabaaraka wa Ta`ala. Oleh karena itu Allah Ta`ala berkata : { فَأَمَّا إِنْ كَانَ } artinya adalah yang sedang sekarat, dan  { مِنَ الْمُقَرَّبِينَ }, adalah mereka yang mengerjakan amalan-amalan wajib dan sunnah dan meninggalkan yang haram-haram dan yang dibenci serta sebahagian hal yang mubah. { فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ }, artinya adalah untuk mereka surga dan kesenangan, kemudian para Malaikat memberi khabar gembira dengan demikian di saat menjelang kematian. Sebagaimana telah lewat dalam al Baraa` bahwa Malaikat rahmat berkata : “Wahai ruh yang baik dalam jasad yang baik kamu telah memakmurkannya, keluarlah kamu kepada surga dan kesenangan dan kepada Rabb yang tidak marah”.
Berkata `Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu `Abbas radhiallahu `anhu, bahwasanya{ فَرَوْحٌ }, maknanya adalah istirahat, dan { وَرَيْحَانٌ }, maknanya adalah  yang di-istirahatkan. Dan demikian juga berkata Mujaahid, bahwa sesungguhnya ar-raauhu adalah istirahat, dan menurut Abu Hazrah, maknanya adalah istirahat dari dunia.
Sa`iid bin Jubeir dan as Sudiiy berkata { فَرَوْحٌ }, maknanya adalah kegembiraan, dan Mujaahid berkata bahwa { فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ }maknanya adalah surga dan kesenangan. Dan Qataadah berkata  { فَرَوْحٌ }, maknanya ialah rahmat, dan berkata Ibnu `Abbas, Mujaahid dan Sa`iid ibnu Jubeir bahwa { وَرَيْحَانٌ }, maknanya ialah rizqi.
Seluruh pendapat ini berdekatan dan shohihah, sesungguhnya barang siapa meninggal sebagai orang yang didekatkan (kepada Allah Ta’ala), maka dia akan menghasilkan seluruh bentuk rahmat, istirahat dan ketenangan, kegembiraan dan keceriaan serta rizqi yang baik.[2]
Sesungguhnya telah berdalil sebahagian ulama bahwa azab qubur adalah benar dan wajib beriman dengannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta`ala tentang keluarga Fir`aun :
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوّاً وَعَشِيّاً وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
“Kepada mereka diperlihatkankan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat, (dikatakan kepada malaikat), "Masukkanlah Fir'aun dan keluarganya ke dalam azab yang sangat keras". (QS. Ghaafir : 46)
Berkata al Imam Ibnu Katsir rahimahullahu Ta`ala : “Sesungguhnya arwah mereka disodorkan kepada neraka pagi dan sore sampai terjadinya kiamat, maka apabila hari kiamat, dikumpulkan arwah dan jasad mereka di neraka”.[3]
Dari Asma` binti Abi Bakar radhiallahu `anhuma bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّكُمْ تُفْتَنُونَ فِي الْقُبُورِ مِثْلَ أَوْ قَرِيبَ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ يُؤْتَى أَحَدُكُمْ فَيُقَالُ لَهُ مَا عِلْمُكَ بِهَذَا الرَّجُلِ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيَقُولُ هُوَ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَاءَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى فَأَجَبْنَا وَآمَنَّا وَاتَّبَعْنَا فَيُقَالُ لَهُ نَمْ صَالِحًا فَقَدْ عَلِمْنَا إِنْ كُنْتَ لَمُؤْمِنًا وَأَمَّا الْمُنَافِقُ أَوْ الْمُرْتَابُ (لا أيتهما قَالَتْ أَسْمَاءُ) فَيَقُولُ لَا أَدْرِي سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ شَيْئًا فَقُلْتُهُ
“Sesungguhnya telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan diuji di qubur seperti atau hampir sama dengan fitnah Dajjal. Didatangkan salah seorang kalian lalu dikatakan padanya : “Apa yang kamu ketahui tentang lelaki ini ?” Adapun mu`min dia akan menjawab : “Muhammad Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam, telah datang kepada kami dengan dalil-dalil dan petunjuk, maka saya menerimanya dan beriman dengannya serta mengikutinya”. Kemudian dikatakan kepadanya : “Tidurlah kamu dengan tenang, sungguh Kami telah mengetahui bahwa engkau adalah betul-betul yakin.” Sedangkan munafiq atau seorang yang ragu, (perawi berkata : saya tidak mengetahui yang mana diantara dua ini dikatakan oleh Asmaa`), maka dia mengatakan : “Saya tidak tahu, saya telah mendengar manusia mengatakan sesuatu maka saya mengatakan juga”.[4]
Dan dari `Aisyah radhiallahu `anha bahwa seorang wanita Yahudi masuk ke tempat beliau lantas dia menyebutkan tentang adzab qubur, lalu `Aisyah berkata kepadanya : “Semoga Allah melindungi kamu dari adzab qubur.”, kemudian `Aisyah bertanya kepada Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam tentang adzab qubur, maka Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam menjawab :
نَعَمْ عَذَابُ الْقَبْرِ حَقٌّ 
“Benar adzab qubur adalah haq”,
berkata `Aisyah : “Tidak pernah saya melihat Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam sholat setelah itu kecuali beliau minta perlindungan kepada Allah dari adzab qubur”.[5]
Sesungguhnya Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menjelaskan kepada ummatnya gambaran cobaan yang terjadi diqubur. Dari Anas bin Malik radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
الْعَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتُوُلِّيَ وَذَهَبَ أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَأَقْعَدَاهُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ فَيُقَالُ انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنْ النَّارِ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ
“Seorang hamba, bila sudah dimasukan dalam quburnya, lalu berpaling dan pulang para sahabatnya, sampai dia betul-betul mendengar bunyi sandal-sandal mereka, kemudian dua Malaikat mendatanginya dan mendudukkannya sambil berkata kepadanya : “Apa yang kamu katakan tentang lelaki ini, Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam ?” Lalu dia menjawab : “Saya bersaksi bahwa dia hamba Allah dan RasulNya.”, kemudian dikatakan kepadanya : “Lihatlah tempat duduk kamu dari neraka dan sesungguhnya Allah Ta`ala telah menggantikan untukmu tempat dudukmu dari surga.” Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata : “Maka dia lihat keduanya.” Adapun seorang kafir atau munafiq dia mengatakan : “Saya tidak tahu, saya hanya mengatakan apa yang dikatakan oleh manusia.” Maka dikatakan padanya : “Kamu tidak tahu dan kamu tidak membaca.” Kemudian dipukul dia dengan satu pukulan dari palu terbuat dari besi diantara dua telinganya, lalu dia berteriak satu teriakan yang dapat didengar oleh siapapun kecuali manusia dan jin”.[6]
Dari al Baraa` bin `Aazib radhiallahu `anhu dari Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda (tentang perkataan Allah Ta’ala):
يُثَبِّتُ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah mengokohkan  orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”.(QS.  Ibrahim : 27)
Beliau bersabda :
نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّيَ اللَّهُ وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَلِكَ قَوْلُ الله عَزَّ وَجَلَّ
Ayat ini turun tentang adzab qubur, dikatakan kepada si mayat : “Siapa Rabb engkau?” Dia menjawab : “Rabb saya Allah dan Nabi saya Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam”, maka itulah makna firman Allah `Azza wa Jalla :
يُثَبِّتُ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.”.(QS.  Ibrahim : 27)[7]
Dan Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam men-syariatkan bagi ummatnya untuk memintakan ampunan bagi seorang mayat dan memohonkan bagi dia keteguhan. Dari `Utsman bin ‘Affan radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam apabila beliau telah selesai dari menguburkan mayat, lalu beliau berdiri dekat quburannya sambil berkata :
اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
“Mohonkan kepada Allah Ta`ala ampunan bagi saudara kalian ini, dan mintakan baginya keteguhan, sesungguhnya dia sekarang lagi ditanya”.[8]
Adapun Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam sangat sering minta perlindungan dari adzab qubur, dan dia perintahkan juga para sahabatnya demikian. Dari Abu Sa`id al Khudriy radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
هَذِهِ الْأُمَّةَ تُبْتَلَى فِي قُبُورِهَا فَلَوْلَا أَنْ لَا تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ الَّذِي أَسْمَعُ مِنْهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ قَالُوا نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ فَقَالَ تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ قَالُوا نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Umat ini akan diuji di quburnya, kalaulah bukan kalian saling diquburkan, betul-betul saya akan memohon kepada Allah untuk memperdengarkan kepada kalian adzab qubur yang saya mendengar darinya”. Kemudian Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam menghadap kepada kami dengan wajahnya ,dan beliau berkata : “Berlindunglah kalian kepada Allah dari adzab neraka.” Para sahabat berkata : “Kami berlindung kepada Allah dari adzab neraka.”, kemudian beliau berkata kembali : “Berlindunglah kalian kepada Allah dari adzab qubur.”, para sahabatpun menjawab : “Kami berlindung kepada Allah dari adzab qubur”.[9]
Qubur merupakan tempat turun pertama dari sekian tempat turun menuju akhirat. Dari `Utsman radhiallahu `anhu bahwa dia, bila berdiri dekat qubur dia menangis sampai-sampai basah jenggotnya, lalu dikatakan padanya : “Kamu mengingat surga dan neraka namun kamu tidak menangis, sedangkan disini (di dekat qubur) kamu menangis?”, beliau menjawab : “Sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ قَالَ وسمعت رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول : مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا الْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ
“Sesungguhnya qubur merupakan persinggahan pertama menuju akhirat, barang siapa yang selamat darinya maka untuk selanjutnya akan lebih ringan darinya, dan barang siapa yang tidak selamat darinya maka untuk setelahnya akan lebih sulit”. Dan saya telah mendengar Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda : “Saya tidak melihat satu pemandangan (yang menakutkan) sama sekali  kecuali qubur lebih sangat  menakutkan”.[10]
Dan di dalam qubur ada jepitan yang tidak akan selamat seorangpun darinya. Dari `Aisyah radhiallahu `anha bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
إِنَّ لِلْقَبْرِ ضَغْطَةً َلَوْ كَانَ أَحَدٌ نَاجِيًا مِنْهَا لنجا سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ
“Sesungguhnya bagi qubur tersebut ada jepitan, kalau seandainya salah seorang selamat darinya, sungguh telah selamat Sa`ad bin Mu`aadz”.[11]
Dari Ibnu `Umar radhiallahu `anhu dari Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
هَذَا(سعد بن معاذ الأنصاري سيد الأنصار – رضي الله عنهم-. الَّذِي تَحَرَّكَ الْعَرْشُ وَفُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَشَهِدَهُ سَبْعُونَ أَلْفًا مِنْ الْمَلَائِكَةِ لَقَدْ ضُمَّ ضَمَّةً ثُمَّ فُرِّجَ عَنْهُ
“Ini Sa`ad bin Mu`adz radhiallahu `anhu yang telah bergerak baginya al `Arsy, dan dibukakan untuknya pintu-pintu langit, dan telah disaksikan oleh tujuh puluh ribu orang dari Malaikat, sungguh dia telah dijepit oleh satu jepitan, dan kemudian dilepaskan dia darinya”.[12]
Hendaklah setiap pribadi diantara kita betul-betul membayangkan tentang dirinya, dimana sungguh dia akan digotong di atas pundak-pundak lelaki dan akan diletakkan di dalam lubang yang sangat sempit dan gelap ini. Tidak ada teman yang ramah di dalamnya, tidak ada teman duduk, tidak ada harta, tidak ada anak cucu, dan jadilah quburan tersebut sebagai tempat tinggalnya, tanah sebagai tikarnya, cacing-cacing sebagai temannya, pada tempat yang demikian tidak bermanfaat harta benda, juga kedudukan, dan tidak juga syahadah-syahadah. Allah Ta`ala berfirman :
وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُم بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ لَهُمْ جَزَاء الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آمِنُونَ
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun, tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal sholeh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan, dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam syurga)”(QS. Sabaa` : 37)
Dari Anas bin Malik radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Tiga yang mengikuti seorang mayat, maka dua akan kembali dan tinggallah satu, akan mengikutinya adalah keluarganya dan hartanya serta amalannya, namun keluarganya dan hartanya akan kembali dan tinggallah bersamanya amalannya”.[13]
Maka seyogyanya bagi seorang muslim untuk memperhatikan dirinya dan bersegera dia bertaubat dengan taubat nashuha, lalu dia melazimkan dirinya dalam ketaatan dan taqwa, dan hendaklah dia selalu dalam mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan Rabbnya.  Kemudian berkata seorang penyair :
يا من بدنياه اشتغل             وغره طول الأمل
الموت يأتي بغتة            والقبر صندوق العمل
“Wahai orang yang sibuk dengan dunianya,
dan menipunya dengan angan-angan yang panjang.
Kematian akan datang secara tiba-tiba,
dan quburan merupakan kantong amalan”.

والحمد لله رب العالمين، وصلى الله سلم علي نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Diterjemahkan oleh :  al Faqiir Ila `Afwi Rabbihi al Ustadz Abul Mundzir Dzul Akmal Lc ar Riyawwiy al Madaniy as Salafiy dari Kitab : “Ad Durarul Muntaqoot minal Kalimaatil Mulqooti Duruusun Yaumiyah”, dan beberapa tambahan dari penterjemah, halaman 307-311, oleh as Syaikh Amiin bin `Abdullah as Syaqaawiy.
[1] “Shohih al Bukhariy (1379), Muslim (2866)”.
[2] “Tafsir Ibnu Katsir (13/396)”.
[3] “Tafsir Ibnu Katsir (12/193)”.
[4] “Shohih al Bukhariy (1053), Muslim (905)”.
[5] “Shohih al Bukhariy (1372), Muslim (584).
[6] “Shohih al Bukhariy (1338), Muslim (2870)”.
[7] “Shohih Muslim (2781)”.
[8] “Sunan Abi Dawud (3221) dan dishohihkan oleh al Haakim”.
[9] “Shohih Muslim (2867)”.
[10]“Sunan at Tirmidziy (2308)”.
[11]“Musnad al Imam Ahmad (6/96)”.
[12] “Shohih Sunan an Nasaaiiy (1942)”. Oleh al Imam al Albaaniy, nukilan dari kitab “al Mausuu`ah al Fiqhiyyah al Muyassarah fil Kitaab was Sunnatul Muthohharah”, (4/172), oleh as Syaikh Husein al `Awaayisyah.
[13] “Shohih al Bukhari (6514), Muslim (2960)”.
sumber: http://tazhimussunnah.com