Kamis, 15 Desember 2011

“Kutukan bagi Kaum Yahudi yang Melanggar Aturan Hari Sabtu”

Pada masa Bani Isroil, tersebutlah sekumpulan penduduk negeri yang bernama negeri Ailah. Negeri ini berada dipinggir laut. Allah Ta’ala menguji mereka dengan mengharamkan mereka untuk bekerja menangkap ikan di hari sabtu. Jika datang hari Sabtu, semua ikan di laut muncul keluar sampai mulut-mulut ikan itu kelihatan di atas permukaan air, sedangkan pada hari Ahad, ikan-ikan itu masuk ke dasar laut, sehingga tidak ada satupun ikan yang terlihat sampai tiba hari sabtu berikutnya.
Diantara penduduk Ailah itu, ada seseorang yang ingin tetap mendapatkan ikan walaupun di hari Sabtu. Maka seseorang membuat lubang dan saluran dari laut menuju lubang tersebut. Jika datang hari Sabtu, orang itu membuka saluran tadi. Jika datang ombak, ombak itu akan melemparkan ikan ke lubang tersebut. Ikan itu ingin keluar dari lubang tetapi tidak bisa, karena air yang ada di saluran tersebut sangat sedikit sehingga ikan itu tetap berada di lubang tersebut.
Setelah hari Ahad, orang itu mendatangi lubang yang ia buat dan mengambil ikan yang ada di sana. Kemudian orang itu memanggang ikan hasil tangkapannya. Terciumlah bau ikan tersebut oleh tetangganya. Si tetangga bertanya kepada orang itu, “bagaimana bisa mendapat ikan di hari sabtu?”, maka orang itupun memberitahu dari mana ia mendapatkan ikan. Si tetangga kemudian meniru apa yang dilakukan orang itu. Sampai akhirnya, perbuatan mereka berdua menyebar luas, dan beramai-ramai mereka memakan ikan dengan cara seperti tadi.
Para ulama mereka mengingatkan, “Sebenarnya kalian itu menangkap ikan pada hari sabtu. Ikan itu tidak halal bagi kalian.” Tetapi orang-orang yang menangkap ikan itu berkata: “kami hanya menangkap ikan pada hari Ahad yaitu ketika kami mengambil.” Orang-orang yang faqih (paham) di antara merekapun menjawab, “tidak, tetapi kalian telah menangkap ikan pada hari kalian membuka saluran air, sehingga ikan itu masuk.” Namun orang-orang itu justru bertambah menyimpang dan durhaka.
Setelah sekian lama, ada yang berkata kepada golongan yang tidak menangkap ikan di hari Sabtu, “kenapa kalian menasihati orang-orang yang akan dibinasakan oleh Alloh atau di adzab Alloh dengan adzab yang pedih, padahal mereka tidak mentaati kalian?”.sebagian mereka menjawab, “kami menasihati mereka agar kami memiliki alasan di hadapan Alloh Ta’ala dan semoga mereka mau bertaqwa sehingga meninggalkan perbuatan mereka.”
Ketika orang-orang yang berbuat maksiat itu tetap melakukan perbuatannya, maka orang-orang yang taat berkata, “Demi Alloh, kami tidak akan tinggal satu tempat dengan kalian.” Maka mereka pun membagi negeri itu dengan sebuah tembok pembatas. Orang-orang yang taat mempunyai satu pintu, demikian pula dengan orang-orang yang durhaka mempunyai satu pintu yang lain. Mereka membuka pintu itu pada hari Sabtu. Orang-orang yang taat keluar melalui pintu mereka sendiri, dan orang-orang durhaka keluar dari pintu yang berbeda.
Sampai tiba di suatu hari, orang-orang yang taat keluar dari pintu mereka, sedangkan orang-orang yang durhaka tidak membuka pintu mereka. Orang-orang yang taat pun heran mengapa mereka tidak keluar. Maka orang-orang yang taat memanjat tembok pembatas diantara mereka. Tiba-tiba mereka melihat orang-orang yang durhaka itu telah berubah menjadi kera yang saling berlompatan antara satu dengan yang lainnya. (Tafsir Ibn Katsir: Surah Al-A’raf ayat 165-166, dengan sedikit ringkasan)

Faidah:
1. Bahwa Alloh Ta’ala jika telah melarang sesuatu maka wajib bagi kita untuk menjauhi dan kita tinggalkan.
2. Kita dilarang untuk berbuat curang atau licik juga melakukan tipu daya sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk negeri Ailah di dalam menangkap ikan-ikan tersebut. Mereka melakukan tipu daya dan kelicikan-kelicikan sehingga Alloh Ta’ala mengadzab mereka.
3. Kita diwajibkan untuk mengikuti perkataan para ulama, selama perkataan para ulama tersebut sesuai dengan perkataan Rosululloh shollallohu ‘alayhi wasallama. Karena mereka lah yang lebih berilmu dibandingkan kita dan para ulama adalah pewaris para nabi.
4. Diwajibkan bagi kita untuk saling nasihat-menasihati yakni menasihati saudara kita, keluarga kita, teman-teman kita. Ketika mereka terjatuh kedalam perbuatan kemungkaran, maka kita nasihati mereka.
5. Wajib bagi kita untuk berlepas diri (Baro’) terhadap orang yang ingkar kepada Alloh Azza wa Jalla.
6. Bahwa Alloh Ta’ala akan mengadzab orang-orang yang ingkar kepada Alloh dengan adzab yang pedih.
“Dan sesungguhnya kalian telah mengetahui orang-orang di antara kalian yang melanggar pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kalian kera yang hina”. Maka Kami jadikan yang demikian itu malapetaka bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”
(Al-Baqoroh: 65-66)

“Dan tanyakanlah kepada Bani Isroi’l tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasiq. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasehati kaum yang Alloh akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Robb kalian, dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasiq. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kalian kera yang hina.” (Al-A’roof: 163-166)

Sumber: Al-Qur’anul Kariim
CD MP3 “Kisah-kisah Pilihan untuk Anak Muslim seri ke-3” dari Tasjilat At-Tuqa Yogyakarta

Kamis, 08 Desember 2011

Hukum Mengikuti Perayaan Natal dan Tahun Baru

Sangat disesalkan, banyak kaum muslimin yang ternyata ikut-ikutan gembira dan ikut-ikutan merayakan hari raya/hari besar kaum kafir. Di antara adalah perayaan Natal dan Tahun Baru. Yang lebih parah adalah Tahun Baru, karena banyak dari kaum muslimin yang tidak mengerti bahwa itu termasuk perayaan/hari besar orang-orang kafir. Mereka beralasan bahwa Tahun Baru bersifat universal. Di samping tidak sedikit dari kaum muslimin yang ikut meramaikan perayaan Natal, atau sekadar membantu tetangganya yang beragama kristen untuk merayakan Natal, berupa turut membantu memasak, hadir dalam undangan Natal, turut mengucapkan selamat, dll. Ini semua termasuk turut andil dalam perayaan hari besar agama kafir.
Semestinya seorang muslim menimbang segala ucapan dan perbuatannya dengan timbangan syari’at Allah. Bagaimana Islam mengatur hubungan dengan orang-orang kafir. Apakah boleh turut andil atau turut kerja sama, atau sekadar ikut meramaikan acara perayaan orang-orang kafir? Termasuk bolehkah ikut meramaikan atau ikut-ikutan senang dengan perayaan Natal dan Tahun Baru?
Berikut penjelasan seorang ‘ulama besar international, Asy-Syaikh Al-’Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Mufti Besar Kerajaan Saudi Arabia (kini telah wafat).
Samahatul Imam Al-’Allamah Asy-Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata :
Tidak boleh bagi muslim dan muslimah untuk ikut serta dengan kaum Nashara, Yahudi, atau kaum kafir lainnya dalam acara perayaan-perayaan mereka. Bahkan wajib meninggalkannya. Karena barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari sikap menyerupai mereka atau berakhlaq dengan akhlaq mereka. Maka wajib atas setiap mukmin dan mukminah untuk waspada dari hal tersebut, dan tidak boleh membantu untuk merayakan perayaan-perayaan orang-orang kafir tersebut dengan sesuatu apapun, karena itu merupakan perayaan yang menyelisihi syari’at Allah dan dirayakan oleh para musuh Allah. Maka tidak boleh turut serta dalam acara perayaan tersebut, tidak boleh bekerja sama dengan orang-orang yang merayakannya, dan tidak boleh membantunya dengan sesuatu apapun, baik teh, kopi, atau perkara lainnya seperti alat-alat atau yang semisalnya.
Allah juga berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
 “Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan jangalah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” [Al-Ma`idah : 2]
Ikut serta dengan orang-orang kafir dalam acara perayaan-perayaan mereka merupakan salah satu bentuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk meninggalkannya.
Tidak selayaknya bagi seorang yang berakal jernih untuk tertipu dengan perbuatan-perbuatan orang lain. Yang wajib atasnya adalah melihat kepada syari’at dan aturan yang dibawa oleh Islam, merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan sebaliknya tidak menimbangnya dengan aturan manusia, karena kebanyakan manusia tidak mempedulikan syari’at Allah. Sebagaimana firman Allah :
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
“Kalau engkau mentaati mayoritas orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” [Al-An’am : 116]
Allah juga berfirman :
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Kebanyakan manusia tidaklah beriman walaupun engkau sangat bersemangat (untuk menyampaikan penjelasan).” [Yusuf : 103]
Maka segala perayaan yang bertentangan dengan syari’at Allah tidak boleh dirayakan meskipun banyak manusia yang merayakannya. Seorang mukmin menimbang segala ucapan dan perbuatannya, juga menimbang segala perbuatan dan ucapan manusia, dengan timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Segala yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satu dari keduanya, maka diterima meskipun ditinggakan manusia. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satunya, maka ditolak meskipun dilakukan oleh manusia.
[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah rahimahullahI/405]
http://www.assalafy.org/mahad/?p=288
http://www.salafy.or.id/2010/12/27/hukum-turut-serta-dalam-perayaan-natal-dan-tahun-baru

Jumat, 02 Desember 2011

"mencontek"

Perhatikanlah! remaja-remaja yang "mejeng" di mall-mall, pinggir-pinggir jalan atau di pusat-pusat hiburan, maka kita akan melihat pemandangan yang sangat mengherankan. Yang laki-laki kepalanya botak sebelah, rambutnya dicat, pakai anting-anting, kalung, dan lain sebagainya.wanitanya pun tak mau kalah, mereka tidak malu lagi dengan pakaian ketat yang kelihatan pusarnya, rok mini dengan kaos you can seedan potongan rambut yang tidak karuan. ini semua akibat termakan oleh propaganda yang datang dari negeri barat yang didominasi oleh Yahudi dan Nashrani. Janganlah heran jika lambat laun mode Yahudi dan Nashrani yang menjadi panutan. Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim " . ( QS.Al Maidah :51 )
Namun ironisnya, sebagian besar remaja kita bangga dengan hal tersebut. mereka bangga dengan pakaian ala barat yang dikenakannya; mereka bangga jika dapat meniru model rambut mereka, mereka bangga jika dapat meniru gaya bicara mereka. Padahal Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah mengancam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut” (HR. Abu Dawud (4031), Ahmad (5114), Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8327), Ibnu Manshur dalam As-Sunan(2370). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (4347)
Al-Imam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, "Hadits ini serendah-rendahnya mengharuskan pengharaman tasyabbuh (menyerupai orang kafir atau fasiq)". [Lihat Iqtidho' Ash-Shiroth Al-Mustaqim (83)]
Jadi, tingkatannya sesuai dengan kadar keterlibatannya dalam meniru orang-orang kafir. jika ternyata yang ditirunya adalah perbuatan kekafiran atau kemaksiatan, maka orang tersebut dihukumi sama dengan pihak yang ditirunya.
perbuatan menyimpang seperti ini merupakan hal yang bersifat naluria, karena setan menampakkan perbuatan ini di hadapan pelakunya sebagai perbuatan baik. Oleh karena itu, para hamba Allah diperintahkan untuk terus memohon kepada Allah agar diberi keteguhan hati berada dalam hidayah-Nya, sehingga tidak bersikap seperti kaum Yahudi dan Nashrani.
Ketahuilah! tujuan diturunkannya syariat Islam adalah untuk menyelisihi orang-orang non-muslim. Ini merupakan suatu cara untuk menampakkan Islam sebagaimana yang telah diterapkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits berikut:
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
جُزُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوْا اللِّحَى وَخَالِفُوْا الْمَجُوْسَ
potonglah kumis kalian dan peliharah jenggot kalian; berbedalah kalian dari golongan Majusi (penyembah api)” [HR. Muslim dalam shohih-nya (260), dan Ahmad dalam Al-Musnad (8771) ]
Hadits tersebut diakhiri dengan perintah yang selaras dengan bagian awalnya, karena perintah menyelisihi orang-orang majusi ialah dengan memotong kumis. Sebab itu merupakan ciri khas mereka yaitu memanjangkan kumis dan memotong jenggot. Oleh karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan kita agar menyelisihi mereka.
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
اُعْفُوْا اللِّحَى وَخُذُوْا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوْا شَيْبَكُمْ وَلَا تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى
“Biarkanlah jenggot kalian tumbuh, cukurlah kumis kalian, ubahlah (semirlah) uban kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi dan Nashrani ”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (8657). Di-shohih-kan oleh Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Musnad (2/356)]
Penyerupaan dalam penampilan lahiriah akan berpengaruh untuk menumbuhkan kasih, cinta, dan kesetiaan dalan batin sebagaimana kecintaan dalam batin akan berpengaruh untuk menimbulkan penyerupaan dalam penampilan lahiriah. Ini adalah masalah yang nyata, baik secara perasaan maupun dalam prakteknya.
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
خَالِفُوْا الْيَهُوْدَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّوْنَ فِيْ نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ
”Kalian harus menyelisihi kaum yahudi karena mereka tidak mau shalat dengan memakai sandal ataupun terompah mereka” . [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (652). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ats-Tsamr Al-Mustathob (hal.351)]
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa golongan Ahli Kitab adalah makan sahur”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1096), Abu Dawud dalam Sunan -nya (2343), An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (2166), dan Ahmad dalam Musnad-nya (17796)]
Abu Abdillah Al-Qurthubiy-rahimahullah- berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa sahur merupakan ciri khas ummat ini (Islam). Diantara perkara yang diberi keringanan di dalamnya, yaitu makan sahur". [Lihat Ad-Dibaj Syarh Shohih Muslim Ibnil Hajjaj (3/197)]
Ini semua menunjukkan bahwasanya menyelisihi orang-orang kafir adalah tujuan pokok syariat. Namun sangat disayangkan, karena jauhnya umat Islam dari agamanya dan enggannya mereka mempelajari agamanya, semua ini menyebabkan mereka terjatuh di dalam kesalahan ini yaitu meniru kaum kafir mulai dari pakaian, dan cara berpakaian, tradisi, adat, bahasa, perayaan hari raya, dan hari-hari peringatan mereka seperti Hari Valentine, Hari Haloween, dan lain-lain. Sehingga Islam tinggallah sebuah nama. Mengaku muslim, namun pakiannya serba ketat, bahkan nyaris telanjang. Tidak ada lagi ciri-ciri keislaman pada dirinya, sehingga kita sulit membedakan antara wanita muslimah dan wanita kafir; sama-sama tidak memakai jilbab. Kalaupun pakai, yah asal-asalan saja, tanpa memenuhi standar. Padahal jilbab yang sayr’i adalah jilbab yang menutupi seluruh tubuh, tebal (tidak transparan), longgar (tidak ketat sehingga membentuk lekuk tubuh), tidak menyerupai pakaian wanita kafir, dan laki-laki.. [Lihat Jilbab Al-Mar'ah]
Begitulah realita umat ini, mereka mengikuti langkah-langkah Yahudi dan Nashrani, sejengkal demi sejengkal hingga andai mereka masuk ke lubang biawak pun, niscaya umat Islam akan mengikutinya. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah lama memperingatkan tentang bahaya mengikuti jalan, dan gaya hidup mereka
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرِاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ : فَمَنْ ؟
Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian pun akan masuk ke dalamnya”. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah kaum Yahudi dan Nashara? Maka beliau menjawab:” Siapa lagi(kalau bukan mereka)?”.[HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (3269 & 6889), Muslim dalam Shohih-nya (2669), Ahmad dalam Musnad-nya (11817&11861)]
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ كَفَارِسِ وَالرُّوْمِ ؟ فَقَالَ : وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُوْلَئِكَ ؟
Kiamat tidak akan terjadi sampai umatku mengikuti apa yang terjadi pada kurun-kurun sebelumnya. sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta”. lalu ada yang bertanya : “wahai Rasulullah apakah seperti bangsa persia dan Rumawi? beliau menjawab: “manusia siapa lagi kalau bukan mereka”.[HR. Bukhariy (6888) dalam Shohih-nya, dan Ahmad dalam Al-Musnad(8414)]
Disini Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memberitahukan bahwa di tengah-tengah umatnya akan ada orang-orang yang meniru perilaku kaum yahudi dan nasrani, dan ada juga yang meniru bangsa Persia dan Romawi. Hal tersebut telah menjadi kenyataan pada hari ini. Lihatlah ketika orang-orang Nashrani merayakan tahun baru mereka, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan tahun baru hijriyah atau tahun baru Masehi itu sendiri. Ketika orang Nashrani merayakan kenaikan Isa Al-Masih, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan Isra’ dan Mi’raj. Ketika orang Nashrani merayakan hari lahirnya Isa Al-Masih, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan lain-lain.
Padahal Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memerintahkan mereka untuk merayakan hari-hari itu; tidak satu ayat pun atau hadits shahih yang menjelaskan tentang disyariatkannya memperingati hari-hari tersebut. Para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- tidak pernah mencontohkan hal itu. Apakah mereka (yang merayakan perayaan-perayaan ini) merasa lebih baik dan lebih alim daripada Rasulullah dan para sahabatnya? Sehingga ada suatu kebaikan yang luput dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang tidak disampaikan oleh beliau kepada umatnya. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“Tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya suatu kebaikan yang dia ketahui untuk mereka dan memperingatkan umatnya dari kajelekan yang dia ketahui untuk mereka”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1844)An-Nasa'iy (4191), dan Ibnu Majah (3956)]
Tragisnya lagi, jika umat ini mengikuti yahudi dan nashrani dalam perkara yang berkaitan dengan aqidah, seperti menjadikan kubur-kubur sebagai masjid. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-memperingatkan dengan keras kepada umatnya agar jangan menjadikan kubur sebagai masjid. sebagaimana yang banyak diterangkan dalam hadits.
A’isyah -radhiyallahu ‘anha- berkata, "Pada suatu hari Ummu Salamah menceritakan pengalamannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tentang sebuah gereja bernama Mariah yang pernah ia saksikan di Habasyah ( Ethiopia) yang penuh dengan gambar. Lalu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أُوْلَئِكَإِذَامَاتَمِنْهُمُالرَّجُلُالصَّالِحُبَنَوْاعَلَىقَبْرِهِمَسْجِدًاثُمَّصَوَّرُوْافِيْهِتِلْكَالصُّوْرَةَأُوْلَئِكَشِرَارُالْخَلْقِعِنْدَاللهِ
“Mereka adalah kaum yang apabila ada seorang yang shalih atau yang baik diantara mereka meninggal dunia, mereka membangungkan masjid di atas kuburannya dan membuat patung-patung di dalamnya. patung-patung itu. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (434), Muslim dalam Shohih-nya (568)]
Hendaknya setiap orang yang membangun masjid di atas kuburan atau memasukkan kuburan ke dalam lokasi masjid takut terhadap laknat dari Allah -Ta’ala-. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبَيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashara yang menjadikan kubur-kubur nabi mereka sebagai masjid”. Beliau memperingatkan terhadap apa yang mereka lakukan itu. [HR. Al-Bukhari (435) dan Muslim (531)]
Kalau orang yang menjadikan kubur para nabi sebagai masjid saja diancam sedemikian keras, bagaimana lagi kalau yang dijadikan masjid adalah kubur orang yang dianggap wali atau orang shalih lainnya? bagaimana pula dengan kuburnya tokoh-tokoh tertentu yang tidak diketahui asal-usulnya, apakah mereka orang shalih atau tidak?
Semoga tulisan ini bermamfaat bagi kaum muslimin sehingga berhati-hati untuk tidak mengekor kepada orang-orang kafir dalam segala aspek kehidupan baik aqidah, ibadah, ucapan maupun perbuatan sehingga kita tidak termasuk orang-orang diancam oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala-dalam firman-Nya,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (QS. An-Nisa :115)