Sabtu, 31 Maret 2012

Hukum Menikahi Wanita Hamil karena Berzina

Telah ditanyakan kepada as Syaikh Abu Yaasir Khalid Ar Raddadiy (hafidhahumallah)
Pertanyaan Langsung via Telepon
Melalui: al-Ustadz Abu Abdirrahman Muhammad Wildan, Lc.
dari Sekretariat Yayasan Anshorus Sunnah, Batam
tentang Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Berzina

- Tanya :
Apakah sah pernikahan seorang wanita yang hamil karena zina dengan laki-laki yang berzina dengannya atau dengan selain laki-laki yang berzina dengannya ?
س : السلام عليكم
ج : وعليكم السلام
س : معذرة يا شيخنا انقطع الخط.
س : هل يصح نكاح المرأة الحامل من الزنا بمن زنى بها أو بغير من زنى بها ؟
ج : هل يصح نكاح من ؟
س : هل يصح نكاح المرأة الحامل من الزنا بالرجل الذي زنى بهذه المرأة أو بغير الرجل الذي زنى بهذه المرأة ؟
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

- Jawab (Syaikh Kholid ar Raddaadiy) :
Permasalahan ini berkaitan dengan pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang hamil karena zina, baik itu dengan laki-laki yang menzinainya atau dengan selain laki-laki yang menzinainya, maka permasalahan ini mengandung hal-hal sebagai berikut:
Pertama:
Bagi wanita yang berzina ini Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat An~Nuur : 3 [سورة النور]
. الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
Laki-laki yg berzina itu tidak menikahi kecuali wanita yg berzina atau wanita musyrikah. Dan wanita yang berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yg berzina atau seorang laki-laki yang musyrik dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang beriman (Surat An-Nuur : 3)

Apabila kita membaca ayat yang mulia ini yang Allah akhiri ayat ini dengan “ dan hal itu diharamkan bagi orang-orang beriman ", maka kita bisa simpulkan dari hal ini satu hukum, yaitu HARAMNYA menikahi wanita yang berzina dan HARAMNYA menikahkan laki-laki yang berzina.

Artinya, seorang wanita yang berzina itu tidak boleh bagi orang lain yaitu bagi laki-laki lain untuk menikahinya dan bahwa seorang laki-laki yang berzina itu tidak boleh bagi seseorang untuk menikahkan anak perempuannya dengannya.
Dan apabila kita mengetahui hal tersebut dan bahwa hal itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman, maka sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan yang keji ini kondisi / keadaanya tidak terlepas dari keadaan orang yang mengetahui haramnya perbuatan tersebut, namun ia tetap menikahi wanita itu dikarenakan dorongan hawa nafsu dan syahwatnya, maka pada saat seperti itu, laki-laki yang menikahi wanita yang berzina itu juga tergolong sebagai seorang pezina sebab ia telah melakukan akad yang diharamkan yang ia meyakini keharamannya.

Dari penjelasan ini jelaslah bagi kita tentang hukum haramnya menikahi wanita yang berzina dan tentang haramnya menikahkan laki-laki yang berzina.

Jadi, hukum asal dalam menikahi seorang wanita yang berzina itu adalah tidak boleh dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina pula. Iya, ada diantara para ulama yang memfatwakan, apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita dan laki-laki ini bermaksud untuk menikahi wanita tersebut, maka wajib bagi keduanya untuk bertobat kepada Allah Azza wa Jalla. Kemudian hendaknya kedua orang tersebut melepaskan dirinya dari perbuatan yang keji ini dan ia bertobat atas perbuatan keji yang telah dilakukannya dan bertekad untuk tidak kembali kepada perbuatan itu serta melakukan amalan-amalan yang shalih.

Dan apabila laki-laki tersebut berkeinginan untuk menikahi wanita itu, maka ia wajib untuk membiarkan wanita itu selama satu masa haid yaitu 1 bulan, sebelum ia menikahi atau melakukan akad nikah terhadapnya. Apabila kemudian wanita itu ternyata hamil, maka tidak boleh baginya untuk melakukan akad nikah kepadanya kecuali setelah wanita tersebut melahirkan anaknya.

Hal ini berdasarkan larangan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, " Seseorang untuk menyiramkan airnya ke sawah atau ladang orang lain", dan ini adalah bahasa kiasan, yaitu menyiramkan maninya kepada anak dari kandungan orang lain.
(Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Albani dalam “Shahih Sunan Abu Dawud” hadits nomor 2158)

ج : نعم، هذه المسألة بالنسبة لنكاح الرجل بالمرأة الحامل من الزنا بمن زنى بها أو بغير من زنى بها، فانها تتضمن ما يلي : عليه أولا هذه المرأة الزانية
يقول الله عز وجل : (الزاني لا ينكح الا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها الا زان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنين ). اذا قرأنا هذه الآية
الكريمة التي ختمها الله بقوله ( وحرم ذلك على المؤمنين ) أخذنا من هذا حكما وهو تحريم نكاح الزانية وتحريم نكاح الزاني بمعنى أن الزانية
لا يجوز للانسان أن يتزوجها وأن الزاني لا يجوز للانسان أن يزوجه ابنته واذا عرفنا ذلك وحرم ذلك على المؤمنين فان من ارتكب هذا الجرم
فلا يخلو اما أن يكون ملتزما بالتحريم عالما به ولكنه تزوج بمجرد الهوى والشهوة فحينئذ يكون زانيا لأنه عقد عقدا محرما يعتقده محرما ملتزما
بتحريمه. نعم. و يعني من خلال هذا يتبين لنا كما قلنا من هذه الآية حكم تحريم نكاح الزانية وتحريم كذلك نكاح الزاني كونه زنى بها هو الذي
زنى بها أراد أن يتزوجها أو كونه شخص آخر فالأصل في النكاح أنه لا ينكح الزانية الا زان مثله اذا زنى بها كان زانيا مثله. نعم هناك من يفتي
يقول مثلا اذا كان زنى بها وأراد أن يتزوجها فان عليهما أن يتوبا الى الله أولا فيقلعا عن هذه الجريمة. هذا اذا كان هو زنى بها…… على ما حصل
منهما من فعل الفاحشة وأن لا يعود اليها وهي كذلك و …… من الأعمال الصالحة واذا أراد أن يتزوجها وجب عليه أن يستبرئها بحيضة حتى
لو زنى بها يستبرئها بحيضة قبل أن يعقد عليها النكاح. وان تبين حملها لم يجز له العقد عليها - وإلا كما قلت أنت انها حامل- لا يجوز له العقد عليها
الا بعد أن تضع حملها… لنهي النبي صلى الله عليه و سلم أن يسقي الانسان ماءه زرع غيره. والله أعلم
س : إذن في تلك الصورتين لا يجوز.
ج : لا يجوز، نعم لا اذا كان هو زنى بها وأراد أن يتزوجها وبينا وفصلنا في هذا.
س : جزاكم الله خيرا يا شيخنا. بقي عندي سؤالان من أبي المنذر اتصل بي اليوم وطلب مني أن أسألكم هذين السؤالين

Kamis, 15 Maret 2012

Surat Terbuka dari Ummu Al-Wadi’iyyah

Sepucuk surat terlayang dari negeri Yaman, dari seorang ‘alimah muhadditsah yang dikenal dengan nama Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah. Putri seorang muhaddits zaman ini, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, sebagai lecutan semangat bagi para muslimah di Indonesia untuk menuntut ilmu syar’i.


Dari Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah,
untuk saudaraku di jalan Allah
Ummu Ishaq Al-Atsariyah


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Setelah memuji Allah I, aku kabarkan padamu, wahai Ummu Ishaq, bahwa telah sampai padaku dua pucuk surat darimu, semoga Allah I menjagamu dan aku doakan semoga Allah I mencintaimu, yang Dia telah menjadikanmu cinta kepadaku karena-Nya.
Adapun mengenai permintaanmu agar aku menulis risalah kepada akhwat salafiyyat di Indonesia, aku jawab bahwa aku telah menulis kitab Nashihati lin-Nisa (Nasehatku untuk Wanita) yang sekarang sedang dicetak. Bila kitab itu telah terbit, Insya Allah akan kami kirimkan kepadamu, semoga Allah I memudahkannya.
Adapun nasehatku dalam thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu agama) bagi wanita, maka aku katakan: Hendaklah wanita memulai dari perkara yang Allah I wajibkan atasnya, seperti mulai dengan belajar ilmu tauhid yang merupakan pokok agama ini, karena Allah I tidak akan menerima amalan apa pun dari seorang hamba jika ia tidak mentauhidkan-Nya dalam ibadah tersebut. Sebagaimana Allah I berfirman dalam hadits qudsi:

“Aku paling tidak butuh kepada sekutu-sekutu dari perbuatan syirik. Siapa yang mengerjakan suatu amalan yang dalam amalan tersebut dia menyekutukan Aku dengan yang lain maka aku tinggalkan dia dan sekutunya.”
Juga mempelajari thaharah, cara bersuci dari haid, nifas dan setiap yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur/ kemaluan depan dan belakang), dan mempelajari tata cara shalat, syarat-syarat dan kewajiban-kewajibannya.
Demikian pula mempelajari tata cara haji jika ia ingin menunaikan ibadah ini, dan seterusnya…
Rasulullah r bersabda:

“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.”
Setelah itu, jika wanita tersebut termasuk orang-orang yang berkesinambungan dalam menuntut ilmu, maka hendaklah ia menghafal Al-Qur`an bila memang itu mudah baginya dan juga menghafal hadits Rasulullah r, tentunya disertai pemahaman dengan memohon pertolongan kepada Allah U. Kemudian merujuk kitab tafsir kalau ada masalah yang berkaitan dengan Al-Qur‘an, seperti Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Jarir. Jika masalahnya berkaitan dengan As-Sunnah, maka merujuklah kepada kitab-kitab syarah dan fiqih seperti Fathul Bari, Syarhun Nawawi li Shahih Muslim, Nailul Authar, Subulus Salam, Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm.
Dan perkara yang sangat penting dan tak bisa diabaikan dalam hal ini adalah berdoa kepada Allah I karena doa termasuk sebab yang menolong untuk memahami ilmu. Oleh karena itu, hendaknya seorang insan memohon kepada Allah I agar menganugerahkan pemahaman kepadanya.
Jika ada para pengajar wanita (guru/ustadzah) yang mengetahui Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka berguru kepada mereka merupakan perkara yang baik, karena seorang guru akan mengarahkan penuntut ilmu (murid) dan menjelaskan kepadanya kesalahan-kesalahan yang ada. Terkadang seorang penuntut ilmu menyangka sesuatu itu haq (benar), namun dengan perantaraan seorang guru ia bisa mendapatkan penjelasan bahwa hal itu ternyata salah, sedangkan al-haq (kebenaran) itu menyelisihi apa yang ada dalam prasangkanya.
Tidak menjadi masalah bagi seorang wanita untuk belajar pada seorang syaikh, akan tetapi dengan syarat selama aman dari fitnah dan harus di belakang hijab (ada tabir pemisah), karena selamatnya hati tidak bisa ditandingi dengan sesuatu.
Jangan engkau menganggap sulit urusan menuntut ilmu karena alhamdulillah menuntut ilmu itu mudah bagi siapa yang Allah I mudahkan, sebagaimana firman-Nya:

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur`an itu untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (Al-Qamar: 17)
Dan sebagaimana sabda Nabi r:

“Aku diutus dengan membawa agama yang hanif (lurus) dan mudah.”
Akan tetapi, ingatlah bahwa ilmu itu memerlukan ketekunan dan kesungguh-sungguhan sebagaimana dikatakan:

Berilah kepada ilmu semua yang ada padamu, maka ilmu itu akan memberimu sebagiannya.
Juga sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:

“Wahai saudaraku, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara. Aku akan beritahukan kepadamu perinciannya.
Kepandaian, ketamakan (dalam mencari ilmu), kesungguhan, dan memiliki bekal.
Berteman dengan guru dan masa yang panjang.”
Maksud ucapan sya’ir “bulghah” adalah sesuatu yang bisa dimakan, karena termasuk perkara yang dapat menegakkan badan adalah makanan.
Berhati-hatilah wahai saudariku –semoga Allah I menjagamu– dari bersikap taqlid (mengikuti tanpa ilmu) dalam masalah-masalah agama, karena sikap taqlid itu adalah kebutaan. Padahal Allah I telah memberikan akal kepada manusia dan memberi nikmat dengan akal tersebut sehingga manusia unggul dengannya.
Adapun pertanyaanmu “Bagaimana caranya agar seorang wanita bisa menjadi pembahas/peneliti yang kuat (dalam ilmu din)?” Maka jawabnya –semoga Allah I menjagamu–: Masalah-masalah ilmu itu beragam dan sungguh Allah I telah mendatangkan untuk agama-Nya ini orang-orang yang berkhidmat padanya. Maka mereka memberikan setiap macam ilmu itu haknya, sebagai permisalan:
Jika suatu masalah itu berkaitan dengan hadits, maka hendaknya engkau merujuk kepada kitab-kitab takhrij seperti kitab Nashbur Rayah oleh Az-Zaila’i, At-Talkhishul Habir oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dan kitab-kitab Asy-Syaikh Al-Albani hafizhahullah yang padanya ada takhrij seperti Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah dan Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah.
Jika masalahnya berkaitan dengan fiqih, maka hendaklah engkau merujuk kepada kitab-kitab yang memang ditulis untuk membahas fiqih, seperti kitab-kitab yang telah aku sebutkan sebelum ini, demikian seterusnya….
Saudariku, semoga Allah menjaga dan memeliharamu…
Sanjunglah Allah U karena Dia telah menjadikanmu mengenal bahasa Arab. Aku katakan kepadamu bahwa bahasa Arab saat ini telah banyak mengalami penyimpangan (pembelokan dari bahasa Arab yang fasih) dan kerancuan telah masuk pada bahasa ini yang memalingkannya dari kefasihan.
Akan tetapi, masih ada kitab-kitab bahasa Arab yang bisa engkau pelajari dan engkau baca serta engkau pergunakan agar lisan menjadi lurus (fasih dalam berbahasa Arab). Kitab-kitab yang dimaksud adalah kitab-kitab nahwu. Bagi pelajar pemula hendaknya mulai dengan mempelajari kitab At-Tuhfatus Saniyah, setelah itu kitab Mutammimah Al-Ajurumiyyah, lalu kitab Qatrun Nada dan Syarhu ibnu ‘Aqil. Dan sepertinya kitab-kitab ini sudah mencukupi bagi penuntut ilmu yang ingin mempelajari ilmu nahwu. Demikianlah wahai saudariku, jangan lupa untuk menyertakan aku dalam doa kebaikanmu karena doa seseorang untuk saudaranya yang muslim yang jauh dari dirinya itu mustajab (diterima Allah I). Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.


Ditulis oleh saudarimu fillah
Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah
Sabtu, 20 Ramadhan 1418 H
(Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq Zulfa Husein dari surat aslinya)

Jumat, 09 Maret 2012

Bersin ….

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
“Haa…cih!” terdengar suara bersin. “Alhamdulillah…!” disambung suara khas gadis kecil berusia dua tahun yang baru saja bersin itu. Belum fasih dia mengucapkannya, namun cukup menyentuh hati yang mendengarnya. Betapa beruntungnya anak sekecil ini telah mengenal sunnah Nabinya n. Sembari mengucap rasa syukur melihat pemandangan indah itu, terucap jawaban, “Yarhamukillaah….”
Memang, memuji Allah l tatkala bersin adalah salah satu adab mulia yang diajarkan oleh Rasulullah n. Begitu pula mendoakan orang yang bersin. Demikian beliau sabdakan, sebagaimana dinukilkan oleh Abu Hurairah z,
إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُل: الْحَمْدُ لِلهِ؛ وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوْهُ أَوْ صَاحِبُهُ: يَرْحَمُكَ اللهُ؛ فَإِذَا قَالَ لَهُ: يَرْحَمُكَ اللهُ؛ فَلْيَقُلْ: يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
“Jika salah seorang di antara kalian bersin, hendaknya mengucapkan ‘alhamdulillah’ (segala pujian hanyalah milik Allah). Jika dia mengucapkan ‘alhamdulillah’, hendaknya saudaranya atau temannya mendoakan, ‘yarhamukallah (semoga Allah mengasihimu)’. Jika temannya mengatakan kepadanya, ‘yarhamukallah’, hendaknya dia menjawab ‘yahdiikumullah wa yushlihu baalakum (semoga Allah l memberimu petunjuk dan memperbaiki keadaanmu)’.” (HR. al-Bukhari no. 6224)
Bahkan, kata Rasulullah n, doa bagi seseorang yang bersin lalu mengucap hamdalah termasuk salah satu hak seorang muslim yang harus ditunaikan muslim yang lain. Hal ini disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud z, bahwa Rasulullah n pernah bersabda,
لِلْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِم أَرْبَعُ خِلاَلٍ: يُشَمِّتُهُ إِذَا عَطَسَ، وَيُجِيْبُهُ إِذَا دَعَاهُ، وَيَشْهَدُهُ إِذَا مَاتَ، وَيَعُوْدُهُ إِذَا مَرِضَ
“Ada empat hak seorang muslim yang harus ditunaikan oleh muslim yang lain: mengunjunginya ketika sakit, menyaksikan jenazahnya ketika dia meninggal, menjawabnya jika dia mengundang, dan mendoakannya jika dia bersin.” (HR. Ibnu Majah no. 1434, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan Ibni Majah)
Selain memuji Allah l ketika bersin, Rasulullah n mengajarkan pula adab ketika bersin, yaitu dengan menutup mulut dengan tangan atau baju, serta merendahkan suara bersinnya. Dikatakan oleh Abu Hurairah z,
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا عَطَسَ غَطَّى وَجْهَهُ بِيَدِهِ أَوْ بِثَوْبِهِ عَلَى فِيْهِ وَغَضَّ بِهَا صَوْتَهُ
“Biasanya Rasulullah n jika bersin menutup wajah beliau dengan tangan atau baju dan merendahkan suara bersinnya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2745, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Suatu adab mulia yang mudah diamalkan sebenarnya. Oleh karena itu, sudah semestinya adab yang mudah diamalkan seperti ini diajarkan kepada anak-anak. Tidak sepantasnya kita biarkan si anak bersin begitu saja tanpa bimbingan, padahal telah datang bimbingan itu dari Rasulullah n.
Ketika si anak tampak hendak bersin, kita ajari dia untuk menutup mulut dengan tangan atau bajunya. Setelah bersin, seketika itu juga kita bimbing mereka untuk memuji Allah l dengan mengucap hamdalah. Ketika mereka bersin dan memuji Allah l, kita doakan mereka dengan mengucapkan yarhamukallah. Jika yang seperti ini kita lakukan berulang-ulang, lambat laun si anak pun akan terbiasa. Akhirnya, sunnah yang mulia ini pun melekat pada kehidupannya. Adapun jika si anak tidak mengucap hamdalah, maka kita tidak mendoakannya. Kita jelaskan pada mereka bahwa kita tidak mendoakannya karena dia tidak mengucap hamdalah setelah bersin. Lalu kita ajari dia untuk mengucapkan hamdalah agar dia mendapatkan doa kebaikan.
Begitu pun ketika anak mendengar orang bersin dan mengucap hamdalah. Kita ajak dia untuk mendoakan orang yang bersin itu dengan doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah n. Namun jika orang yang bersin itu tidak mengucap hamdalah, kita terangkan bahwa orang yang tidak mengucap hamdalah ketika bersin tidak berhak mendapatkan doa.
Dikisahkan oleh Anas bin Malik z,
عَطَسَ رَجُلاَنِ عِنْدَ النَّبِيِّ n فَشَمَّتَ أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُشَمِّتِ الْآخَرُ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللهِ، شَمَّتَّ هَذَا وَلَمْ تُشَمِّتْنِي؟ قَالَ: إِنَّ هَذَا حَمِدَ اللهَ، وَلَمْ تَحْمَدِ اللهَ
Pernah ada dua orang yang bersin di hadapan Nabi n. Beliau mendoakan salah seorang dari mereka dan tidak mendoakan yang lainnya. Orang yang tidak didoakan ini pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, engkau mendoakan orang itu, namun tidak mendoakan saya?” Beliau pun menjawab, “Dia memuji Allah, sementara itu engkau tidak memuji-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 6225)
Perlu juga si anak mengetahui bahwa orang yang bersin berkali-kali karena sakit tidak kita berikan doa seperti itu, karena demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah n. Diceritakan oleh Salamah ibnul Akwa’ z,
أَنَّ رَجُلاً عَطَسَ عِنْدَ رَسُولِ الله n وَأَنَا شَاهِدٌ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ الله n: يَرْحَمُكَ الله. ثُمَّ عَطَسَ الثَّانِيَةَ وَالثَّالِثَةَ. فَقَالَ رَسُولُ الله n: هَذَا رَجُلٌ مَزْكُوْمٌ
Pernah ada seseorang bersin di dekat Rasulullah n dan saat itu aku menyaksikannya, Rasulullah pun mendoakan, “Yarhamukallah!” Kemudian dia bersin kedua dan ketiga kalinya, maka Rasulullah n mengatakan, “Orang ini terserang pilek.” (HR. at-Tirmidzi no. 2743, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah z pernah mengatakan,
شَمِّتْ أَخَاكَ وَثَلاَثًا، فَمَا زَادَ فَهُوَ زُكَامٌ
“Doakan saudaramu (yang bersin dan mengucap hamdalah, –pen.) tiga kali. Adapun selebihnya, itu adalah sakit pilek.” (HR. Abu Dawud no. 5034, dinyatakan hasan oleh al-Imam al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Di samping harus mengetahui adab ketika bersin, anak harus pula mengetahui adab ketika menguap, karena hal ini pun disampaikan oleh Rasulullah n. Beliau n menyatakan sebagaimana disampaikan oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah z,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ، فَإِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ وَحَمِدَ اللهَ كَانَ حَقًّا عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يَقُوْلَ لَهُ: يَرْحَمُكَ اللهُ؛ وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الشَّيْطَان، فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَليَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا تَثَاءَبَ ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ
“Sesungguhnya Allah mencintai bersin dan membenci kuap. Jika seseorang bersin lalu memuji Allah, maka kewajiban atas setiap muslim yang mendengarnya untuk mendoakannya. Adapun kuap, maka itu dari setan. Jika salah seorang dari kalian menguap, hendaknya dia tahan sejauh kemampuannya. Sesungguhnya jika seseorang menguap, setan pun tertawa karenanya.” (HR. al-Bukhari no. 6226)
Dijelaskan oleh para ulama bahwa bersin itu menunjukkan semangat dan ringannya badan. Berbeda dengan kuap yang biasanya disebabkan oleh beratnya badan, kekenyangan, kelambanan, dan kecenderungannya untuk bermalas-malasan. Disandarkannya kuap pada setan, karena setan inilah mengajak kepada syahwat. Yang diinginkan dalam hadits ini adalah peringatan agar berhati-hati dari berbagai sebab yang dapat menimbulkan kuap, yaitu banyak makanan dan sering makan. (al-Minhaj, 18/121)
Dalam sabda Rasulullah n yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri z, beliau menjelaskan bahwa menahan kuap itu dengan meletakkan tangan menutupi mulut. Beliau n bersabda,
إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فَمِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ
“Jika salah seorang di antara kalian menguap, hendaknya dia tahan dengan tangannya di mulutnya, karena sesungguhnya setan akan masuk.” (HR. Muslim no. 7417)
Para ulama mengatakan bahwa Rasulullah n memerintahkan untuk menahan kuap dan menutupkan tangan ke mulut agar setan tidak dapat mencapai keinginannya untuk membuat jelek wajah dan masuk ke dalam mulut serta tertawanya karena kuap ini. (al-Minhaj 18/122)
Sungguh, ini adalah pengajaran yang sempurna dari Rasulullah n yang tidak pernah ada dalam ajaran agama mana pun. Yang harus kita ingat, melaksanakan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah n akan membuahkan kebaikan dan kemuliaan. Tidak sepantasnya kita tinggalkan sunnah yang telah jelas benderang di hadapan mata. Tinggal kewajiban kita untuk melaksanakannya, kemudian mengajarkannya kepada anak-anak kita.
Wallahu a’lamu bish-shawab.