Minggu, 25 Juli 2010

Nasehat Penting, Menyambut Bulan Ramadhan


Datangnya bulan Ramadhan merupakan idaman setiap muslim. Ungkapan Ahlan wa Sahlan Ya Ramadhan (selamat datang Ya Ramadhan) tidak hanya keluar dari qalbu dan lisan, bahkan persiapan demi persiapan pun selekas mungkin dilakukan, dengan penuh harapan dan kegembiraan semoga bisa bertemu dengan bulan suci umat Islam itu.
Namun sayang, kegembiraan itu sering diwarnai dengan perselisihan dalam menentukan awal masuknya shaum (puasa) bulan Ramadhan ataupun awal bulan Syawal (Iedul Fithri). Karena telah muncul berbagai macam suara dan cara dalam menentukan awal masuk dan keluarnya bulan suci Ramadhan, baik itu keputusan dari partai-partai ataupun ormas-ormas Islam.
Akhirnya yang nampak adalah perselisihan demi perselisihan, hingga suasana pun menjadi keruh, panas dan bingung. Tetapi kita semua tidak boleh bingung, karena Al Qur’an dan As Sunnah yang dibawa oleh Rasulullah adalah sebagai kunci atau rujukan utama dari setiap masalah yang ada. Namun yang harus diingat, bahwa Al Qur’an dan As Sunnah itu harus sesuai dengan apa yang telah dipahami oleh para sahabat Nabi . Itulah kunci yang asli sehingga pas dan tepat untuk mengatasi setiap masalah yang ada, bukan kunci imitasi identik untuk kepentingan tertentu.

Masuk Dan Keluarnya Bulan Ramadhan Ditentukan Dengan Ru’yatul Hilal Bukan Dengan Ilmu Hisab
Penentuan mulai masuknya bulan Ramadhan dilakukan dengan cara melihat bulan terbit sebagai tanda dimulainya awal bulan hijriyah yang lebih populler disebut ru’yatul hilal. Apabila terhalangi oleh mendung atau yang semisalnya, maka caranya ialah dengan melengkapkan bilangan hari dalam bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berhari-rayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah bilangannya menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari)
Adapun hadits Abdullah bin Umar y :
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“…jika terhalangi, maka perkirakanlah.” Makna dari kata “perkirakanlah”, telah diterangkan oleh Rasul sendiri pada hadits yang sebelumnya, yaitu; فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْن atau فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ, yang artinya: “Maka lengkapilah bilangannya menjadi 30 hari” atau “lengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”. (HR. Al-Bukhari)
Dari hadits-hadits diatas jelas sekali menunjukkan bahwa penentuan masuknya Ramadhan dengan ru’yatul hilal adalah suatu ibadah yang masyru’ah (yang diperintahkan) bukan perkara ijtihadiyah. Sehingga ilmu perbintangan dan ilmu hisab tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Hal ini bisa ditinjau dari berbagai sisi, diantaranya:
1. Bertentangan dengan nash (dalil) dari Al Qur’an yang mengaitkan hukum shaum dengan ru’yah dan persaksian hilal. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Barangsiapa yang menyaksikan syahru (hilal) Ramadhan maka bershaumlah.” (Al Baqarah: 185)
2. Bertentangan dengan dhahir hadits-hadits yang shahih (sebagaimana hadits-hadits diatas).
3. Bertentangan dengan (ijma’) kesepakatan para sahabat, tabi’in dan para imam setelah mereka.
4. Adanya pernyataan dari para ahli ilmu perbintangan sendiri bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki, dan kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab sendiri dalam menentukan hilal.
Bershaum Dan Ber-Iedul Fithri Bersama Pemerintah Dan Kaum Muslimin
Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam di atas jama’ah (kebersamaan), dengan cara mengikuti bimbingan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan apa yang telah dipahami oleh para sahabat Nabi . Bukan malah berpecah belah, sungguh nista keadaan ini dan dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya . Allah berfirman (artinya): “Dan berpengang tegulah dengan tali Allah (Al Qur’an dan As Sunnah), dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
Rasulullah bersabda:
الجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفِرْقَةُ عَذَابٌ
“Jama’ah itu adalah rahmat sedangkan perpecahan itu adalah adzab.” (HR. Ibnu Abi Ashim, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Bulan suci Ramadhan dan Iedul Fithri/Adha merupakan syi’ar Islam yang agung. Rasulullah telah menegaskan pula tolok ukur bagi kaum muslimin tentang waktu pelaksanaannya tersebut dengan mengutamakan prinsip jama’ah (kebersamaan). Rasulullah bersabda:
الصَوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Ash Shaum (Ramadhan) itu pada hari kalian semua bershaum, Iedul Fithri itu pada hari kalian semua ber-Iedul Fithri dan Iedul Adha itu juga pada hari kalian semua ber-Iedul Adha.” (HR. At Tirmidzi, lihat Ash Shahihah no. 224, karya Asy Syaikh Al Albani)
Prinsip mengedepankan kebersamaan selalu dijaga dan diwasiatkan pula oleh para sahabat Nabi dan juga para imam-imam setelah generasi mereka.
Al Imam Al Baihaqi meriwayatkan sebuah atsar dari ‘Aisyah . Pada hari Arafah (9 Dzulhijjah), Masruq datang menemui ‘Aisyah , ketika itu Masruq ragu untuk bershaum, karena khawatir pada hari itu sudah masuk hari Iedul Adha (10 Dzulhijjah). Maka ‘Aisyah berkata: “An Nahr (Iedul Adha) itu adalah pada hari kaum muslimin ber-Iedul Adha dan Iedul Fithri pada hari kaum muslimin ber-Iedul Fithri.” Maksud dari perkataan ‘Aisyah adalah merujuk (bersandar) kepada prinsip kebersamaan bukan pendapat pribadi. (Lihat Ash Shahihah 1/442)
Al Imam Ibnu Abdil Bar menukilkan pendapat dua orang tabi’in, Asy Sya’bi dan An Nakha’i. Keduanya menyatakan bahwa tidak boleh seorang pun bershaum kecuali bersama jama’ah (kaum muslimin).
Al Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayatnya: “Shaum itu dilakukan bersama imam dan jama’ah baik dalam keadaan (langit) itu cerah ataupun mendung.” (Lihat Majmu’ Fatawa 25/114-118)
Al Imam At Tirmidzi berkata: “Beberapa ulama menafsirkan makna hadits ini, yaitu bahwa penentuan shaum dan Iedul Fithri bersama dengan jama’ah atau mayoritas kaum muslimin.”
Abul Hasan As Sindi dalam Hasyiah Ibnu Majah -setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi- berkata: “Makna yang nampak pada konteks hadits ini; “Sesungguhnya dalam perkara penentuan (Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha -pen), tidak ada pintu bagi person-person untuk berbicara dalam masalah ini, dan tidak boleh pula untuk menyendiri (menyelisihi mayoritas). Bahkan seharusnya perkara tersebut dikembalikan kepada pemerintah dan jama’ah (kaum muslimin). Setiap individu muslim berkewajiban untuk mengikuti pemerintah dan jama’ah. (Lihat Ash Shahihah 1/442)

Bila negara lain telah mengumumkan terlihatnya hilal, apakah boleh bershaum dengan bersandar dengan ru’yah negara lain?
Permasalahan ini terkait dengan adanya sebagian ulama yang berpandangan bahwa ru’yah suatau negeri berlaku untuk semua negeri lainnya. Sedangkan kebanyakan para ulama, berpandangan bahwa suatu negeri memilki ru’yah sendiri sesuai dengan perbedaan mathla’ (tempat terlihatnya hilal saat terbit) masing-masing negeri.
Ketahuilah wahai para pembaca! Asy-Syaikh Al-Albani adalah salah seorang ulama yang merajihkan (menguatkan) bahwa ru’yah suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri lainnya, namun beliau memberikan nasehat yang sangat berharga bagi kaum muslimin dalam kitabnya Tamamul Minnah hal. 298. Beliau berkata: “Tetapi saya berpendapat bahwa setiap kaum muslimin menjalankan shaum Ramadhan bersama pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri. Ada yang menjalankan shaum bersama permerintah dan yang lain tidak, baik mendahului atau membelakangi, karena hal ini akan memperluas perpecahan.
Di dalam Ash Shahihah 1/442-444), beliau juga menegaskan bahwa tolok ukurnya adalah terkait dengan kesepakatan jama’ah (kaum muslimin) atau pemerintah dan bukan pendapat pribadi. Beliau menyebutkan atsar ‘Aisyah yang mengingkari perbuatan Masruq (seperti diatas) dan juga atsar Ibnu Mas’ud , ketika ada orang yang menyanggahnya: “Anda mengingkari khalifah Utsman shalat di Mina 4 rakaat (yang seharusnya 2 rakaat), namun anda tetap shalat dibelakangnya 4 rakaat? Baliau menjawab: “Perpecahan itu berakibat lebih buruk.”
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Merupakan kewajiban kaum muslimin agar selalu di atas kebersamaan, tidak boleh bercerai berai didalam agama Allah. Allah berfirman (artinya): “Dia (Allah) telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama sebagaimana yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kalian bercerai berai tentangnya.” (Asy Syura :13)
Dan Allah juga berfirman (artinya):
“Maka berpegang teguhlah kalian semuanya dengan tali Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Al Imran 103)
Dan Allah juga berfirman (artinya):
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas pada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksaan yang pedih.” (Al Imran 105)
Sehingga wajib menyatukan kalimat (barisan) kaum muslimin dan tidak berpecah belah di dalam agama Allah. Hendaklah penetapan waktu pelaksanaan shaum mereka adalah satu dan penetapan Iedul Fithri mereka juga adalah satu. Dengan cara mengikuti sebuah lembaga (resmi -pen) yang telah ditentukan oleh mereka -yang saya maksudkan adalah sebuah lembaga agama milik pemerintah yang menaungi berbagai urusan kaum muslimin- dan jangan sampai mereka berpecah-belah, meskipun mungkin berbeda dengan waktu shaum Kerajaan Saudi Arabia atau negara-negara Islam lainnya, maka tetaplah mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh lembaga (pemerintah) tersebut. (Fatawa fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52, karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)

Bila ada yang telah melihat hilal, kemudian bersaksi dihadapan waliul amr dan ditolak persaksiannya. Apa yang harus ia lakukan?
Asy syaikh Bin Baz berkata: “Bila seorang muslim bersaksi kepada pemerintah (waliyul amr), bahwa dia telah melihat hilal Ramadhan namun tidak diterima persaksiannya. Hal ini merupakan perkara yang masih diperbincangkan dikalangan para ulama:
a. Kebanyakan para ulama menyatakan wajib baginya untuk bershaum karena dia telah mendapatkan keyakinan masuknya bulan Ramadhan pada dirinya dengan ru’yahnya sendiri. Maka dia bershaum walaupun mendahului kaum muslimin, namun dia ber-Ied bersama kaum muslimin yang lainnya.
b. Sebagian para ulama lainnya berpandangan tidak boleh baginya bershaum bila ditolak persaksiannya. Berlandaskan hadits Nabi (artinya): “Ashaum itu pada hari kalian semua bershaum dan Iedul Fithri itu pada hari kalian ber-Iedul Fithri dan Iedul Adha itu pada hari kalian ber-Iedul Adha.”
Pada hari yang kaum muslimin belum bershaum, maka tidak boleh baginya bershaum. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan jama’ah dari para ulama, karena terkandung makna yang lebih nampak dan jelas pada konteks hadits Nabi tersebut. Dan bila kaum muslimin belum bershaum, maka persaksian dia tidaklah berguna bagi dirinya maupun orang lain dan tidak boleh baginya bershaum sendiri. Pendapat inilah yang paling rojih (kuat). (Majmu’ Fatawa Asy syaikh Bin Baz 3/176-177)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bagi orang yang telah melihat hilal dan ditolak persaksiannya, walaupun dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh syari’at atau bahkan ternyata pemerintah tersebut bersandar dengan ahli perbintangan, tetap wajib mengikuti jama’ah dan pemerintah. Beliau berkata: “Sungguh telah datang hadits shahih dari Nabi (artinya): “Mereka (para pemerintah) shalat sebagai imam bagi kalian, bila mereka benar maka balasannya bagi kalian dan mereka, dan bila mereka salah balasannya bagi kalian dan kesalahannya merupakan tanggung jawab mereka.”
Maka kesalahan pemerintah merupakan tanggung jawab mereka, bukan tanggung jawab kaum muslimin. (Majmu’ Fatawa, 25/206)
Kalau toh sekiranya, seseorang yang telah melihat hilal memilih pendapat wajibnya shaum, walaupun persaksiannya ditolak oleh pemerintah, hendaknya dia bershaum secara sirriyah (tidak menampakkan terang-terangan di hadapan khalayak). (Lihat Fatwa fi Ahkamish Shiyam hal. 74-75, karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)

sumber: http://www.assalafy.org

Kamis, 08 Juli 2010

Mengenal Allah


Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya. 



Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua? 



Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian. 



Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup. 



Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya? 



Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal. 



Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. 



Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci. 



Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.”(QS. Ali Imran: 190) 



Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164) 



Mengenal Wujud Allah. 



Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at. 



Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173) 



Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45) 



Mengenal Rububiyah Allah 

Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14) 



Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah. 



Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4) 



Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya. 



Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu? 



Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah: 



“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 ) 



Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman: 



“Dan mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) 



Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya: 

“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87) 

“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut: 61) 

“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63) 



Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka. 



Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat. 



Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah. 



Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya. 



Mengenal Uluhiyah Allah 

Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. 



Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah. 

Allah berfirman di dalam Al Qur’an: 

“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5) 



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau: 

“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi) 



Allah berfirman: 

“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36) 



Allah berfirman: 

“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21) 



Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata. 



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu ) 



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu ) 



Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang. 



Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.” 



Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah 



Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah: 



“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186) 



“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60) 



Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36) 



Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman: 

“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33) 



“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36) 



Wallahu ‘alam 

sumber: http://asysyariah.com

Fitnah Antara Dua Insan



Ujian yang paling besar bagi laki-laki adalah wanita. Demikian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sebuah haditsnya. Karena itu Islam memberi rambu-rambu yang sangat ketat dalam mengatur hubungan dua lawan jenis ini. Tujuannya, tentu, untuk memuliakan kedua belah pihak, laki-laki dan wanita. 

Allah Subhanahu wa Ta`ala menciptakan dua jenis manusia, Adam (pria) dan Hawa (wanita), yang secara fitrah keduanya saling tertarik satu dengan lainnya. Si pria tertarik, cenderung dan senang dengan wanita. Sebaliknya, wanita juga punya ketertarikan, kecenderungan dan kesenangan terhadap pria. Bapak manusia, Nabi Adam `alaihis salam, merasa kesepian tatkala Allah Subhanahu wa Ta`ala belum menciptakan Hawa sebagai pendamping hidupnya. Yang demikian ini juga menimpa anak cucu Adam. Ketika usia dan kebutuhan telah menuntut, mereka saling membutuhkan teman hidup dari lawan jenisnya, dan ini fitrah manusia. 

Karena kuatnya daya tarik pria dan wanita, agama yang samhah - agama yang mudah dan tidak memberikan beban yang berat bagi pemeluknya - ini menetapkan aturan-aturan agar keduanya terjaga dan tidak melanggar batasan Ilahi. Bila aturan itu tidak diindahkan, maka yang terjadi adalah fitnah. Fitnah ini bisa menimpa pihak pria, bisa pula menimpa pihak wanita, atau bahkan kedua-duanya. Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah sesuatu yang membawa kepada ujian, bala, dan adzab. 

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda tentang fitnah wanita: 
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim) 

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian berketurunan (regenerasi) di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (Shahih, HR. Muslim) 

Shahabat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bernama Abdullah bin Mas‘ud radhiallahu `anhu berkata: “Ada seorang laki-laki mencium seorang wanita yang bukan mahramnya. Dengan penuh sesal laki-laki itu mendatangi Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengadukan maksiat yang telah diperbuatnya. Maka turunlah ayat Allah: 
“Dirikanlah shalat pada dua ujung siang dan akhir dari waktu malam. Sesungguhnya kebaikan itu akan menghapuskan kejelekan. Yang demikian itu adalah peringatan bagi orang-orang yang mau berdzikir (mengingat).” (Hud: 114) 

Laki-laki tadi berkata kepada Rasulullah: “Apakah ayat ini untukku?” Rasulullah menjawab:“Ayat ini bagi orang yang berbuat demikian dari kalangan umatku.” (Shahih, HR. Bukhari) 

Karena terfitnah dengan wanita, seorang laki-laki ingin berzina; dan karena fitnah wanita, seorang laki-laki melakukan perbuatan yang mengantar kepada zina (mencium), padahal Allah Subhanahu wa Ta`ala telah memperingatkan: 
“Janganlah kalian mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan.” (Al Isra’: 32) 

Karena begitu besarnya fitnah antara lawan jenis ini, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan kepada umatnya agar mereka terjaga hingga tidak terjatuh kepada fitnah tersebut. Di antara bimbingan tersebut adalah: 

Firman Allah dalam Surat An-Nuur:30-31 yang artinya: “Katakanlah (ya Muhammad) kepada orang-orang mukmin: “Hendaklah mereka menundukkan pandangan-pandangan mata mereka dan hendaklah mereka menjaga kemaluan-kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah akan mengabarkan apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: “Hendaklah mereka menundukkan pandangan-pandangan mata mereka dan hendaklah mereka menjaga kemaluan-kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung-kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti auratnya wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram, agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung.” (An Nur: 30-31) 

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanitanya kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al Ahzab: 59) 

“Apabila kalian meminta sesuatu kepada para istri Nabi maka mintalah dari balik tabir. Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.” (Al Ahzab: 53) 

Rasulullah mengajarkan kepada para shahabat beliau untuk memberikan hak pada jalan bila mereka terpaksa duduk-duduk di pinggirnya untuk berbincang. Beliau bersabda: 
“(Hak jalan adalah) kalian menundukkan pandangan, menahan gangguan, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi munkar.” (Shahih, HR. Bukhari) 

Beliau menuntunkan kepada para wanita: 
“Apabila salah seorang wanita dari kalian hadir di masjid untuk shalat Isya, maka ia tidak boleh menggunakan wangi-wangian pada malam itu.” (Shahih, HR. Muslim) 

“Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian kemudian ia melewati sekelompok laki-laki agar mereka dapat mencium wanginya, maka wanita itu pezina.” (Shahih, HR. Ahmad. Lihat Ash Shahihul Musnad mimma Laisa fish Shahihain 2/9, karya Syaikh Muqbil t) 

Beliau mengajarkan kepada para laki-laki: 

“Hati-hati kalian dari masuk menemui para wanita yang bukan mahram!” Lalu ada seseorang dari kalangan Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu dengan ipar?” Beliau menjawab: “Ipar itu maut.” (Shahih, HR. Bukhari) 

“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu didampingi oleh mahramnya.” Maka berdiri seorang laki-laki untuk bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk melaksanakan ibadah haji sementara aku telah tercatat untuk ikut dalam peperangan ini dan itu.” Beliau berkata: “Kembalilah engkau temui istrimu dan berhajilah bersamanya.” (Shahih, HR. Bukhari ) 

“Ditusuk kepala salah seorang dari kalian dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Shahih, HR. Ath Thabrani dalam Al-Mu`jamul Kabir . Lihat Ash Shahihah no. 226) 

Aisyah mengabarkan tentang keberadaan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang selalu menjauh dari hal-hal yang dapat mengantarkan kepada fitnah: 
“Demi Allah, tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita yang bukan mahramnya ketika beliau membaiat mereka. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali dengan ucapan: “Sungguh aku telah membaiatmu dalam perkara itu.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim) 

Ummu Salamah, salah seorang Ummahatul Mu’minin berkata: “Apabila Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah salam dari shalatnya (secara berjamaah di masjid, pent.), berdirilah para wanita (untuk kembali ke rumah mereka, pent.) segera setelah selesainya salam beliau, sementara beliau tetap tinggal sebentar di tempatnya sebelum akhirnya beliau berdiri.” (Shahih, HR. Bukhari) 
Rawi hadits ini berkata: “Kami memandang, wallahu a`lam, beliau melakukan hal tersebut agar para wanita yang ikut shalat berjamaah dapat kembali pulang ke rumah mereka tanpa sempat berpapasan dengan laki-laki.” 

Pernah suatu ketika Rasulullah secara tidak sengaja melihat seorang wanita maka beliau segera mendatangi istrinya Zainabx untuk mengajaknya jima‘. Setelah selesai menunaikan hajatnya, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam keluar menemui para shahabat beliau, lalu beliau berkata: 
“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam bentuk setan dan membelakangi dalam bentuk setan. Maka apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita hendaklah ia ‘mendatangi’ istrinya, karena dengan begitu dapat menolak apa yang ada di hatinya.”(Shahih, HR. Muslim) 

Allah Subhanahu wa Ta`ala dengan rahmat-Nya menetapkan adanya pernikahan juga dalam rangka menjaga timbulnya fitnah. Rasul-Nya yang mulia bersabda memberi tuntunan kepada para pemuda :
“Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah memiliki kemampuan hendaklah dia menikah karena dengan nikah itu dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, adapun yang belum mampu maka hendaklah dia puasa karena puasa itu merupakan tameng dari syahwat”. (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim) 

Dalam naungan rumah tangga, seorang suami dan seorang istri diharapkan dapat saling menjaga kehormatan masing-masing. Suami dapat menjaga istrinya dan sebaliknya istri dapat menjaga suaminya. Dan masing-masingnya mencukupkan diri dengan pasangan hidupnya yang sah, tidak berpaling kepada apa yang tidak halal baginya. 

Ketahuilah, fitnah lawan jenis pada akhirnya dapat mengantarkan kepada zina, padahal Allah telah mengharamkan perbuatan keji ini. Dan yang perlu diketahui zina itu tidak hanya sekedar apa yang diperbuat oleh kemaluan, karena Rasulullah bersabda: 
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina. Dia pasti akan mendapati hal itu. Maka zinanya mata dengan melihat, zinanya lidah dengan berbicara, sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan. Dan nantinya kemaluanlah yang membenarkan itu seluruhnya atau mendustakannya.” (Shahih, HR. Bukhari) 

Kita katakan dalam perkara ini “menjaga diri lebih baik daripada mengobati”. Sebelum jatuh sakit karena penyakit yang ditimbulkan oleh fitnah kemudian nantinya sulit untuk diobati, lebih baik menghindarkan diri dari fitnah tersebut dan tidak dekat-dekat dengannya. Semoga Allah menjaga diri kita… Amin! 

Wallahu a‘lam bish shawwab. 

(Catatan: susunan hadits-hadits yang ada dalam tulisan ini diambil dari kitab Tahdzirul Fataatil ‘Afifah min Talbisaat Az-Zindaaniil Khabitsah, hal. 31-37, karya Ummu Salamah As Salafiyah salah seorang istri As Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu ta`ala)
sumber: http://www.asysyariah.com