Kamis, 25 Februari 2010

Mendakwahi Masyarakat Awam agar Mengikuti Manhaj Salaf


Oleh: Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madkhali
Pertanyaan:
Bagaimana mendakwahi masyarakat awam agar mengikuti salafiyah, manhaj salaf (berislam dengan pemahaman salafus shalih [generasi awal Islam yang shalih] –pent), terutama apabila mereka sebelumnya telah terpengaruh dengan dakwah yang menyimpang?
Jawaban: 
Allah telah memberikan kita metode dakwah. Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)
Oleh karena itu kita berdakwah (mengajak) kepada Allah dengan penuh hikmah. Dengan hikmah, maksudnya adalah dengan ilmu, al-bayan (penjelasan), dan hujjah (dalil). Maka hendaknya engkau berdakwah dengan ilmu, akhlak yang baik, serta dengan rifq dan liin [1]. Ini baik kepada orang-orang awam maupun kepada selain orang awam, akan tetapi orang awam akan lebih mudah menerima dakwah. Dan bisa jadi orang awam tersebut menerima kebenaran tanpa perlu adanya perdebatan. Dan kalau pun pada dirinya terdapat sikap keras kepala atau pengaruh dari pemahaman yang batil, maka bantahlah dia dengan jalan yang baik.
Allah berfirman:
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (*) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushsilat: 34-35).
Dan sikap hikmah ini tidaklah dianugerahkan oleh Allah, melainkan hanya kepada orang-orang yang memiliki keberuntungan yang besar.(*)
Catatan Kaki:
[1] Liin dan rifq secara bahasa artinya sama yaitu lawan dari sikap kasar. Makna keduanya secara syar’i pun hampir sama, yaitu adalah lawan dari kekasaran dan mengandung sikap lemah lembut terhadap orang yang ada di sisinya dengan kelembutan ucapan dan perbuatan, serta mengambil perkara yang paling mudah. Tapi keduanya tidaklah mengandung makna berbasa-basi atau bertoleransi terhadap kemaksiatan dan kefasikan. Lihat Al-Liin war Rifq karya DR. Fadhl Ilahi –pent.
Diterjemahkan dari: http://rabee.net/show_fatwa.aspx?id=172 oleh Abu Umar Al-Bankawy.
sumber:http://muslimahbelajar.wordpress.com

Minggu, 21 Februari 2010

Tegakkan Sunnah Walaupun Seluruh Manusia Meninggalkannya !


Biasanya seseorang yang terpengaruh dengan lingkungannya, cenderung untuk menyamakan dirinya dengan masyarakat disekitarnya. Ketika ada suatu sunnah yang tidak dikerjakan  oleh masyarakat sekitarnya, maka ia tidak berani melakukannya. Hal ini dikarenakan rasa maluminder atau khawatir dianggap tidak bermasyarakat
Padahal justru pada masa-masa seperti itu seseorang yang menerapkan Sunnah akan mendapatkan pahala besar, lima puluh kali lipat pahala para shahabat Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam. Ini sesuai dengan sabda beliau :
“Sesungguhnya dibelakang kalian nanti ada hari-hari sabar bagi orang-orang yang pada waktu itu berpegang dengan apa yang kalian ada di atasnya. Mereka akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian. Para shahabat bertanya : ‘Wahai nabi Alloh, apakah lima puluh kali pahalanya dari mereka ?’ Beliau menjawab : ‘Bahkan dari kalian’.” [HR. Marwazi dalam As-Sunnah]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya dibelakang kalian ada hari-hari dimana orang yang sabar ketika itu seperti memegang bara api. Mereka yang mengamalkan Sunnah pada hari itu akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian yang mengamalkan amalan tersebut.” Para shahabat bertanya : “Mendapatkan pahala lima puluh kali dari kita atau dari mereka ?” Rosulullah menjawab : “Bahkan lima puluh kali pahala dari kalian.”  [HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Dishohihkan oleh Imam Hakim dan disepakati oleh Dzahabi ; lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal.49]
Berkata Syaikhul Islam ibn Taimiyah : “Tidak mengapa kita meninggalkan suatu perkara yangmustahab (tidak wajib), tetapi kita tetap tidak boleh meninggalkan keyakinan di-Sunnah-kannya amalan tsb. Karena mengenali Sunnah-nya amalan tsb merupakan fardhu kifayah agar tidak hilang sedikitpun dari agama ini.” [Majmu' Fatawa juz IV hal.436]
Semoga Alloh merahmati Ibnul Qoyyim ketika dia berkata : “Kalau semua perkara yang mustahab ditinggalkan, maka akan hilanglah Sunnah-sunnah Rosulullah dan akan lenyap garis-garisnya serta sirna jejak-jejaknya. Betapa banyak amalan-amalan yang dilaksanakan menyelisihi Sunnah yang jelas, sesuai dengan bertambah jauhnya zaman sampai sekarang. Setiap waktu ada Sunnah yang ditinggalkan dan dikerjakan yang selainnya, begitulah seterusnya. Akhirnya kau lihat sedikit sekali Sunnah yang dikerjakan, itupun dalam keadaan tidak sempurna… [ I'lamul Muwaqi'in, 2/395 ; Lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdussalam bin Barjas, hal.86]
Demikianlah, jika manusia dibiarkan meninggalkan perkara yang Sunnah, kemudian kita juga tidak mau menegakkannya karena masyarakat tidak mengerjakannya, niscaya akan matilah Sunnah dan tidak dikenal lagi oleh masyarakat. Suatu saat kelak ketika ada yang mengerjakan Sunnah tsb akan dianggap sebagai orang yang mengerjakan kebid’ahan.
Sebagai contoh, Sunnah yang telah diperintahkan oleh Alloh, dilakukan oleh Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam, para shahabat dan para Ulama yang setelahnya, yaitu SunnahTa’addud atau Poligami. Betapa kerasnya manusia -bahkan kaum muslimin sendiri- yang menentang Sunnah ini. Orang yang melakukannya seakan-akan dia adalah orang jahat yang melakukan suatu aib yang besar. Padahal asal perintah Alloh dalam masalah perkawinan adalah untuk berpoligami. Kecuali mereka yang tidak mampu untuk berbuat adil, maka diberi keringanan untuk beristri satu saja.
Ini adalah salah satu bukti tentang satu perkara Sunnah yang jika ditinggalkan oleh kebanyakan kaum muslimin dalam kurun waktu yang lama, maka manusia akan mengingkari Sunnah tsb, seperti pengingkaran mereka terhadap suatu kebid’ahan atau bahkan lebih dari itu.
Memang orang yang memulai menghidupkan suatu Sunnah pada masa umat meninggalkannya akan mendapatkan resiko yang berat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat diatas. Orang yang mengerjakannya seperti orang yang memegang bara api. Jika dipegang tangan terbakar, namun jika dilepaskan kita akan tersesat jauh dari jalan Rosulullah. Namun resiko itu sesuai dengan pahalanya yang besar, yaitu limapuluh kali para shahabat.
Disamping itu, agama ini memang bermula dengan keasingan dan pada saatnya akan kembali asing seperti permulaannya. Jika dengan alasan masih asing, kemudian kita meninggalkan Sunnah  maka akan lenyaplah Islam. Rosulullah telah mengkhabarkan akan asingnya agama ini pada mulanya dan akan kembali menjadi asing pada saatnya. Namun beliau juga sekaligus memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang terasing karena menjalankan agama ini.
“Sesungguhnya Islam bermula dengan keasingan dan akan kembali asing seperti permulannya, maka berbahagialah orang-orang yang asing.”  [HR. Muslim]
Untuk itu, janganlah perasaan asing, malu, takut, dll menjadikan kita meninggalkan Sunnah. Kita harus ingat bahwa Sunnah adalah Islam, dan Islam tidak lain melainkan kumpulan Sunnah-sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al Barbahari dalam bukunya, Syarhus Sunnah : “Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam. Tidak akan tegak salah satunya kecuali dengan yang lainnya.”
Jika berkurang satu Sunnah maka berkuranglah kesempurnaan Islam, begitulah seterusnya hingga akan hilanglah Islam secara keseluruhan. Berkata Abdullah ibn Dailami : “Sesungguhnya awal pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya Sunnah. Agama ini akan hilang satu Sunnah demi satu Sunnah seperti hilangnya tali satu kekuatan demi kekuatan.” [Ushul I'tiqod Ahlussunnah, Al-Lalikai 1/93]
Oleh karena itulah Ahlul Bid’ah dikatakan oleh para Ulama sebagai orang yang ikut andil dalam menghancurkan Islam. Karena dengan kebid’ahan yang mereka lakukan, maka ada Sunnah yang tergeser. Semakin banyak bid’ah dikerjakan, semakin banyak pula Sunnah yang hilang, hingga hancurlah Islam.
Sedangkan Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’-nya menyatakan bahwa orang-orang yang mematikan Sunnah itu ada dua jenis. Pertama orang-orang yang mengerjakan kebid’ahan-kebid’ahan dan yang kedua orang-orang yang tidak mau menghidupkan Sunnah.
Ketahuilah, bahwa disamping resiko yang akan dihadapi oleh orang yang memulai menghidupkan Sunnah, ada pula maslahat bagi agama yang besar, yaitu hidupnya Sunnah. Adapun mafsadah atau resiko yang dihadapinya hanyalah bersifat pribadi. Tentunya maslahat agama harus lebih diutamakan daripada maslahat pribadi.
Dengarkanlah apa yang diucapkan oleh Imam Asy-Syatibi berikut : “Aku ragu dan berulang kali menghitung antara menerapkan Sunnah dengan konsekuensi menyelisihi kebiasaan manusia yang tentunya akan mendapatkan resiko seperti apa yang telah didapatkan oleh orang yang menyelisihi adat kebiasaan kaumnya ; apalagi kalau mereka menganggap apa yang biasa mereka lakukan tidak lain adalah Sunnah ; namun disamping resiko yang berat itu ada pahala yang besar. Atau aku memilih untuk mengikuti kebiasaan mereka dengan konsekuensi menyelisihi Sunnah dan menyelisihi jalan Salafush Shalih hingga aku digolongkan termasuk orang-orang yang menyimpang -Na’udzubillahi min dzalik-. Namun karena aku mencocoki kebiasaan manusia akan dianggap sebagai orang yang bisa bermasyarakat dan tidak termasuk orang yang menyelisihi adat. Akhirnya aku berpendapat bahwa kebinasaan dalam mengikuti Sunnah adalah KESELAMATAN, dan bahwasanya manusia tidak akan bisa mencukupi aku dari Alloh sedikitpun.” [Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdussalam bin Barjas hal.88]
sumber: http://ummfulanah.wordpress.com

Jumat, 19 Februari 2010

Petir Tentara Allah

Kekuatan Allah l tidaklah tertandingi oleh siapapun. Dengan tanda kekuasaan-Nya agar manusia kembali kepada Allah l. Sehingga manusia hanya mengibadahi Allah k dan tidak mengibadahi selain-Nya. Hanya pasrah kepada Allah l, tidak kepada selain-Nya. Hanya berdo’a dan meminta perlindungan kepada Allah k, tidak kepada selain-Nya.
                Tentara Allah l ada berbagai macam. Ada petir berupa malaikat, gunung, lautan, angin, petir, dan yang lainnya. Jika Allah l berkehendak Allah l akan menyiksa manusia dan jin yang durhaka. Allah k mengutus petir menimpakannya kepada siapa yang dikehendaki. Allah k mengutusnya sebagai siksaan untuk menghukum orang yang Dia kehendaki.
                Ketika di jaman Nabi, Allah k juga menigirim petir ini kepada orang yang kufur kepada Rosul-Nya. Al-Imam Al-Bazzar meriwayatkan dari Anas bin Malik, dia bercerita……
                Rosulullah n pernah mengutus salah seorang shohabatnya kepada seorang pembesar Jahilliyah, untuk mengajaknya kepada agama Allah l. Orang itu malah berkata: “Terbuat dari apakah Robbmu yang engkau mengajakku kepada-Nya? Dari besikah Dia? Dari tembagakah Dia? Dari emaskah Dia?” kemudian shohabat itu datang kepada Rosulullah n dan memberitahukan kepada Rosulullah n.
                Kemudian Nabi n kembali mengutusnya pada kali kedua. Sedang orang itu mengatakan persis seperti itu. Rosulullah n pun mengutusnya pada kali yang ketiga, maka orang itu juga mengatakan seperti itu. Shohabat tadi lalu mendatangi Nabi n dan mengabarkan kepadanya.
                Setelah itu, Allah l mengirim petir kepada pembesar Jahilliyah itu, sehingga petir itu membakarnya. Maka Rosulullah n bersabda: “Sesungguhnya Allah k telah mengutus petir kepada orang yang kau ajak, sehingga petir itu membakarnya.”
Kemudian turun ayat ini: “Dan Allah melepaskannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, Dialah yang Maha keras siksa-Nya.”(Qs.Ar-Ro’d: 13)

Rabu, 17 Februari 2010

Nabi Idris عَلَيْهِ السَّلاَمُ


Berikut penjelasan singkat tentang Nabi Idris 'Alaihissalam
Beliau adalah Nabi yang pandai menulis, menjahit, mengetahui ilmu binatang, dan menunggang kuda. Nabi Idris 'Alaihissalam diutus kepada anak cucu Qabil yang durhaka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia merupakan keturunan ke-6 dari Nabi Adam 'Alaihissalam. Ia termasuk salah seorang nabi yang sabar dan taat beribadah.
Menurut beberapa riwayat, Nabi Idris 'Alaihissalam hidup di Mesir. Ia berdakwah mengajarkan tauhid dan beribadah menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia wafat dalam usia 82 tahun. Ketika Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam melakukan isra mi’raj, Nabi Idris Alaihissalam dijumpai di langit ke-6 dan memberi salam kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Dalam Al Quran terdapat 2 ayat yang menyebutkan tentang Nabi Idris Alaihissalam, yaitu surat Maryam ayat 56 dan 57.
sumber:http://ahlulhadist.wordpress.com

Senin, 15 Februari 2010

7 Cara Mengatasi Kesulitan Rizki


Liku-liku kehidupan memang tak bisa dikalkulasi dengan hitungan. Negeri yang sedemikian makmurnya ini, terancam kekurangan sandang, pangan dan papan. Kegoncangan melanda di mana-mana. Kegelisahan menjadi selimut kehidupan yang tidak bisa ditanggalkan. Begitulah kalau krisis ekonomi sudah memakan korban.
Seakan manusia telah lalai, bahwa segala yang terhampar di jagat raya ini ada Dzat yang mengaturnya. Apakah mereka tidak ingat Allah Ta’ala telah berfirman :
“Dan tidaklah yang melata di muka bumi ini melainkan Allahlah yang memberi rezkinya.” (QS. Hud : 6)

Keyakinan yang mantap adalah bekal utama dalam menjalani asbab (usaha) mencari rezeki. Ar Rahman yang menjadikan dunia ini sebagai negeri imtihan (ujian), telah memberikan jalan keluar terhadap problem yang dihadapi manusia, diantaranya:
1. Berusaha dan Bekerja
Sudah merupakan sunnatullah seseorang yang ingin mendapatkan limpahan rezeki Allah harus berusaha dan bekerja. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Kalau telah ditunaikan shalat Jum’at maka bertebaranlah di muka bumi dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kalian bahagia.”(QS. Al Jumu’ah : 10)
Rezeki Allah itu harus diusahakan dan dicari. Tapi, kadang-kadang karena gengsi, sombong dan harga diri seseorang enggan bekerja. Padahal mulia atau tidaknya suatu pekerjaan itu dilihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram.

2. Taqwa
Banyak orang melalaikan perkara ini, karena kesempitan hidup yang dialaminya. Dia mengabaikan perintah-perintah Allah, karena tidak sabar menunggu datangnya pertolongan Allah. Padahal Allah Ta’ala telah menyatakan :
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath Thala : 2)

Yaitu ‘dari jalan yang tidak diharapkan dan diangankan-angankan,’ demikian komentar Qatadah, seorang tabi’in (Tafsir Ibnu Katsir 4/48). Lebih jelas lagi Syaikh Salim Al Hilali mengatakan bahwa Allah Yang Maha Tinggi dan Agung memberitahukan, barangsiapa yang bertaqwa kepada-Nya niscaya Dia akan memberikan jalan keluar terhadap problem yang dihadapinya dan dia akan terbebas dari mara bahaya dunia dan akhirat serta Allah akan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (Bahjatun Nadhirin 1/44).
3. Tawakkal
Allah berfirman :
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupi (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaq : 3)
Yakni ‘barangsiapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah niscaya Dia akan mencukupi apa yang dia inginkan,” demikian kata Imam Al Qurthubi dalam dalam Al Jami’ Ahkamul Qur’an, 8/106.

Dan tidak dinamakan tawakkal bila tidak menjalani usaha. Sesungguhnya menjalani usaha merupakan bagian dari tawakkal itu sendiri. Oleh karena itu Ibnul Qoyyim mengatakan :”Tawakkal dan kecukupan (yang Allah janjikan) itu, bila tanpa menjalani asbab yang diperintahkan, merupakan kelemahan semata, sekalipun ada sedikit unsur tawakkalnya. Hal yang demikian itu merupakan tawakkal yang lemah. Maka dari itu tidak sepantasnya seorang hamba menjadikan sikap tawakkal itu lemah dan tidak berbuat dan berusaha. Seharusnya dia menjadikan tawakkal tersebut bagian dari asbab yang diperintahkan untuk dijalani, yang tidak akan sempurna makna makna tawakkal kecuali dengan itu semua.” (Zadul Ma’ad 2/315).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan kita dalam riwayat yang shahih :
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah denagn sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kaian sebagaimana burung diberi rezeki, pergi dipagi hari dalam keadaan perut kosong, (dan) pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. An Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

4. Syukur
Syukur adalah jalan lain yang Allah berikan kepada kaum mukminin dalam menghadapi kesulitan rezeki. Dalam surat Ibrohim ayat 7 Allah berfirman :
“Kalau seandainya kalian bersyukur, sungguh-sungguh Kami akan menambah untuk kalian (nikmat-Ku) dan jika kalian mengingkarinya, sesungguhnya adzab-Ku sangat keras.” (QS. Ibrohim : 7)
Oleh karena itu dengan cara bersyukur insya Allah akan mudah urusan rezeki kita. Adapun hakekat syukur adalah : “mengakui nikmat tersebut dari Dzat Yang Maha Memberi nikmat dan tidak mempergunakannya untuk selain ketaatan kepada-Nya,” begitu Al Imam Qurthubi menerangkan kepada kita (tafsir Qurthubi 9/225)

5. Berinfaq
Sebagian orang barangkai menyangka bagaimana mungkin berinfaq dapat mendatangkan rezeki dan karunia Allah, sebab denagn berinfaq harta kita menjadi berkurang. Ketahuilah Dzt Yang maha Memberi Rezeki telah berfirman :
“Dan apa-apa yang kalian infaqkan dari sebagian harta kalian, maka Allah akan menggantinya.” (QS. Saba: 39)

6. Silaturohmi
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang berkeinginan untuk dibentangkan rezeki baginya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturohmi.” (HR. Bukhori Muslim)

7. Do'a
Allah memberikan senjata yang ampuh bagi muslimin berupa doa. Dengan berdoa seorang muslim insya Allah akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menuntun kita agar berdoa tatkala kita menghadapi kesulitan rezeki.
“Ya Allah aku meminta kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amalan yang diterima.” (HR. Ibnu Majah dan yang selainnya)
Wallahu a’lam bish Showab.

Kamis, 11 Februari 2010

Kisah Nabi Adam dan Hawa





Allah subhanahu wa ta'ala ingin menampakkan penghormatan malaikat kepada kepada Nabi Adam secara lahir dan batin. Untuk itu, Allahmj subhanahu wa ta'ala perintahkan para malaikat untuk sujud kepada Nabi Adam alaihisholatu was sallam:

“Sujudlah kepada Adam!” (QS. Al Baqarah: 34) 



Hal ini merupakan penghormatan dan penghargaan kepada Nabi Adam alaihishalatu was sallamdan dalam rangka ibadah, cinta dan taat kepada Allah subhanahu wata’ala, serta tuduk kepada perintah-Nya. Segeralah para malaikat itu bersujud.

Namun iblis yang berada di tengah-tengah mereka yang tentunya ikut serta mendapatkan perintah itu -iblis itu sendiri bukan dari golongan malaikat melainkan dari golongan jin yang diciptakan dari api-, justru menyimpan kekafiran kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan kedengkian kepada Nabi Adam alaihishalatu was sallam. Kufur dan rasa dengki itu membuat iblis enggan sujud kepada Nabi Adam alaihishalatu was sallam. Tak cuma menunjukkan kesombongan, iblis bahkan menyangkal perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan mencela kebijaksanaan-Nya. Katanya:

“Saya lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah.” (QS. Al A’raf: 12) 
Maka Allah katakan:


“Wahai iblis, apa yang menghalangimu untuk sujud kepada apa yang telah Kuciptakan dengan dua tangan-Ku? Apakah engkau sombong ataukah engkau (merasa) termasuk orang-orang yang lebih tinggi?” (QS. Shad:75) 
Kekufuran, kesombongan, dan pembangkangan ini merupakan sebab terusirnya dan terlaknatinya Iblis. Allah subhanahu wa ta'ala katakan kepadanya:

“Turunlah kamu dari surga karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” (QS. Al A’raf: 13) 
Iblis enggan tunduk dan bertobat kepada Tuhannya, bahkan menentang, meremehkan, dan bertekad bulat untuk memusuhi Adam alaihishalatu was sallam beserta anak cucunya. Ia pun menyiapkan dirinya saat mengetahui bahwa dirinya telah ditetapkan menjadi makhluk yang sengsara selama-lamanya. Ia, dengan ucapan dan perbuatan bersama bala tentaranya, berikrar untuk mengajak anak cucu Adam alaihishalatu was sallam agar menjadi golongan yang telah diputuskan untuk tinggal di rumah kehancuran (neraka). Iblis nyatakan hal itu dengan mengatakan kepada Allahsubhanahu wa ta'ala:

“Wahai Rabbku, berilah aku waktu sampai hari kebangkitan.” (QS. Shad: 79) 
Iblis benar-benar meluangkan waktu untuk menebar permusuhan di kalangan Adam alaihisholatu was sallam dan anak cucunya. Maka tatkala hikmah Allah subhanahu wa ta'ala menuntut agar manusia mempunyai tabiat dan akhlak yang berbeda-beda, maka Allah subhanahu wa ta'ala juga menentukan sesuatu yang menyebabkannya. Yaitu berupa cobaan dan ujian, dan yang terbesarnya adalah diberinya iblis kesempatan untuk mengajak anak Adam alaihishalatu was sallam kepada semua jenis kejahatan. Maka Allah subhanahu wa ta'ala pun menjawab:

“Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai pada hari yang telah di tentukan waktunya.” (QS. Shad: 80-81) 

Iblis menyambut jawaban itu dengan menegaskan permusuhan kepada Adam alaihishalatu was sallam beserta anak cucunya dan menegaskan maksiatnya kepada Allah subhanahu wa ta'ala, katanya:

“Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan (menghalangi-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al A’raf:16-17) 
Iblis mengucapkan itu berdasarkan sangkaannya, karena ia tahu benar tabiat anak Adamalaihishalatu was sallam. “Dan iblis telah membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka, lalu mereka mengikutinya kecuali sebagian orang-orang yang beriman.” (QS. Saba’: 20)

Allah berikan iblis kesempatan untuk melakukan perkara yang telah menjadi niatannya pada Adamalaihishalatu was sallam dan anak cucunya. Allah katakan:

“Pergilah, siapa yang mengikutimu dari mereka, maka jahannamlah balasan kalian semua sebagai suatu pembalasan yang cukup. Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak.” (QS. Al Isra: 63-64) 
Yakni jika kamu mampu, jadikanlah mereka orang-orang yang menyeleweng dalam mendidik anak-anak mereka dengan didikan yang rusak dan dalam membelanjakan harta mereka kepada hal-hal yang mudharat, juga dalam mencari harta dari yang tidak baik. Begitu pula ikut sertalah dengan mereka jika mereka makan, minum, dan berjima’, yakni ketika mereka tidak menyebut nama Allahsubhanahu wa ta'ala. Juga perintahkanlah mereka untuk tidak beriman dengan hari kebangkitan dan pembalasan dan agar mereka tidak melakukan kebajikan. Takut-takuti mereka dengan pembantu-pembantumu, berikan kekhawatiran pada mereka ketika berinfak yang baik dengan kefakiran.

Kesempatan yang Allah berikan ini sesungguhnya demi sebuah hikmah dan rahasia yang besar. Sungguh engkau wahai musuh yang nyata tidak akan menyisakan sedikitpun dari kemampuanmu dalam menyesatkan mereka. Manusia yang jahat akan nampak kejahatan dan kejelekannya, dan Allah subhanahu wa ta'ala tidak akan mempedulikannya.

Adapun keturunan Adam alaihishalatu was sallam yang terpilih, baik dari kalangan para nabi dan pengikutnya, baik orang-orang yang sangat jujur dalam beriman, dan para wali-Nya, maka Allahsubhanahu wa ta'ala tidak akan menguasakan musuh ini (iblis) atas mereka. Bahkan Allahsubhanahu wa ta'ala menjadikan di sekitar mereka pagar pelindung yang begitu kuat, sebagai perlindungan dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Allah subhanahu wa ta'ala membekalinya dengan senjata yang tidak mungkin musuh bisa menandinginya, yaitu kesempurnaan iman dan tawakal mereka kepada Rabb-nya.

“Sungguh mereka tidak memiliki kekuatan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. An Nahl: 99). 
Juga Allah subhanahu wa ta'ala bantu mereka dalam menghadapi musuh yang nyata itu di antaranya dengan menurunkan kitab-kitab yang mencakup ilmu yang bermanfaat, nasehat yang mengena yang memberi semangat untuk melakukan kebajikan dan memperingatkan dari kejelekan. Selain itu, Allah subhanahu wa ta'ala juga mengutus para Rasul yang membawa kabar gembira kepada mereka yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan mentaati-Nya dengan pahala.

Juga memperingatkan orang-orang kafir, yang mendustakan dan berpaling dari Allah, dengan berbagai macam hukuman. Allah subhanahu wa ta'ala juga menjamin orang yang mengikuti petunjuk yang terkandung di dalam kitab-Nya yang dibawa oleh rasul-Nya tidak sesat semasa di dunia dan tidak sengsara kelak di akhirat, tidak takut, serta tidak tertimpa perasaan sedih.

Demikian juga Allah subhanahu wa ta'ala bimbing mereka melalui kitab dan para rasul-Nya kepada hal-hal yang bisa melindungi mereka dari musuh yang nyata ini. Allah subhanahu wa ta'alapun menerangkan kepada hamba-Nya, misi yang dibawa setan dan strateginya dalam menjaring manusia ke dalam perangkapnya. Juga Allah subhanahu wa ta'ala bimbing mereka kepada jalan yang menyelamatkan mereka dari kejahatan setan dan fitnahnya, dan membantu dengan bantuan yang di luar kemampuan mereka. Karena, ketika mereka mengeluarkan segala daya upaya dan minta bantuan kepada Allah subhanahu wa ta'ala, akan mudah bagi mereka jalan mana saja yang dituju.

Setelah itu Allah subhanahu wa ta'ala sempurnakan nikmat kepada Adam alaihishalatu was sallam dengan menciptakan istrinya Hawa dari dirinya dan jenisnya. Ini dimaksudkan agar tercapai ketenangan dan tujuan-tujuan lain seperti pernikahan, kebersamaan, dan adanya anak keturunan.

Allah subhanahu wa ta'ala juga memperingatkan Adam dan istrinya, untuk berhati-hati dari setan karena sesungguhnya setan adalah musuh bagi mereka berdua. Jangan sampai iblis mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga Allah subhanahu wa ta'ala. Ketika itu, Allah mempersilahkan mereka makan buah-buahan apa saja yang ada di dalam surga dan menikmati segala kenikmatan yang ada padanya, kecuali pohon tertentu. Allah subhanahu wa ta'ala katakan kepada mereka berdua:

“Dan jangan kalian dekati pohon ini sehingga kalian menjadi orang-orang yang dzalim.” (QS. Al A’raf: 19) 


“Sungguh kamu tidak akan lapar padanya dan tidak telanjang dan sungguh engkau tidak akan dahaga padanya, dan tidak tertimpa panas matahari.” (QS. Thaha: 119) 
Maka keduanya tinggal di surga selama dikehendaki Allah subhanahu wa ta'ala dengan segala kenikmatannya. Akan tetapi musuh mereka berdua terus mengintai dan mencari kesempatan. Maka ketika setan melihat senangnya Adam alaihishalatu was sallam di dalamnya dan keinginannya yang besar untuk tetap tinggal di dalamnya, setan datang dengan cara yang lembut seolah seorang yang jujur sedang menasehati, ia katakan:
‘Wahai adam apakah engkau mau kutunjukkan sebuah pohon yang jika kamu memakannya kamu akan kekal di surga ini dan akan langgeng kerajaan ini serta tidak akan rusak’. Terus menerus ia rayu Adam alaihishalatu was sallam. Ia janjikan, ia bisikkan, ia berikan harapan dan seolah terus memberi nasehat padahal itu adalah penipuan yang besar. Hingga setan pun berhasil menipu mereka berdua dan akhirnya keduanya makan dari pohon terlarang itu. Maka ketika makan, terlepaslah pakaian mereka berdua sehingga terlihat auratnya, akhirnya keduanya cepat-cepat mengambil daun-daun surga untuk menutupi badan mereka yang telanjang sebagai pengganti pakaian mereka. Seketika itu pula nampak hukuman Allah subhanahu wa ta'ala atas maksiat yang mereka lakukan, lalu Allah subhanahu wa ta'ala menyeru mereka berdua:

“Tidakkah Aku telah melarang kalian berdua makan dari pohon ini dan Aku katakan kepada kalian berdua sungguh setan adalah musuh yang nyata buat kalian berdua.” (QS. Al A’raf: 22). 
Kemudian Allah tumbuhkkan pada hati mereka taubat yang sungguh-sungguh.

“Adam memperoleh beberapa kalimat dari Robbnya.” (QS. Al Baqarah: 22). 

Maka keduanya berkata: “Wahai Rabb kami, sungguh kami telah berbuat dzalim pada diri kami, jikalau Engkau tidak mengampuni dan mengasihi kami, benar-benar kami akan menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf: 23).

Maka Allah terima taubat mereka dan Allah hapus dosa yang telah menodai mereka. Akan tetapi keluar dari surga jika mereka memakan dari pohon itu, sudah menjadi keputusan yang pasti sehingga keluarlah mereka ke bumi yang kebaikannya dicampuri dengan keburukannya, kesenangan dicampuri dengan kesusahannya.

Allah kabarkan kepada keduanya bahwa Allah subhanahu wa ta'ala pasti akan memberikan cobaan pada keduanya dan anak cucunya, serta orang-orang yang beriman. Yang beramal shalih akan mendapatkan balasan yang baik, sebaliknya yang mendustakan lagi berpaling, akibatnya adalah kesengsaraan yang abadi dan adzab yang kekal. Allah subhanahu wa ta'ala ingatkan anak cucu Adam akan hal itu, kata-Nya:

“Wahai anak Adam jangan sekali-kali kalian dapat ditipu oleh setan seperti telah mengeluarkan ayah ibu kalian dari surga, ia tanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat. Sesungguhnya ia dan pengikutnya melihat kamu dari seuatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka.” (QS. Al A’raf: 27) 
Allah subhanahu wa ta'ala kemudian mengganti pakaian yang ditanggalkan oleh setan dari Adam dan Hawa dengan pakaian yang menutupi aurat mereka dan menghiasi mereka secara lahir. Juga dengan pakaiaan yang lebih baik dari itu yaitu pakaian ketakwaan, yakni pakaian hati dan rohani dengan iman, keikhlasan, taubat dan hiasan dengan segala akhlak yang indah serta menanggalkan segala akhlak yang hina. Lalu Allah subhanahu wa ta'ala tebarkan dari Adam alaihishalatu was sallam dan istrinya anak turun yang banyak laki-laki maupun perempuan di muka bumi. Allah ganti mereka generasi demi generasi untuk dilihat oleh-Nya apa yang mereka lakukan.

Faedah yang dipetik: 

Allah subhanahu wa ta'ala jadikan kisah itu sebagai ibrah untuk kita yaitu bahwa sesungguhnya sombong, dengki, dan ambisi merupakan akhlak yang berbahaya buat seorang hamba. Kesombongan dan kedengkian iblis membawanya kepada apa yang kita lihat, demikian juga keinginan kuat Adam alaihishalatu was sallam dan istrinya mengantarkan mereka memakan buah pohon itu. Kalaulah rahmat Allah subhanahu wa ta'ala tidak segera menyelamatkan, sungguh perbuatan mereka itu akan menyampaikan kepada kebinasaan. Akan tetapi rahmat-Nya segera menyempurnakan yang kurang, memperbaiki yang rusak, menyelamatkan yang binasa dan mengangkat yang telah jatuh.
sumber: http://www.asysyariah.com

Selasa, 09 Februari 2010

Simpanan yang Tak Akan Sirna

Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan.

Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.

Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir. Suatu hari yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan. Harta memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلاً
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)

Dan firman-Nya:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96)

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Tatkala turun ayat:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” (At-Taubah: 34)

Tsauban radhiyallahu 'anhu berkata:
Dahulu kami bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau seandainya kita tahu harta apa yang terbaik yang kita akan mengambilnya?” Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ وَقَلْبٌ شَاكِرٌ وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلىَ إِيْمَانِهِ
“Yang utama adalah lisan yang berdzikir, hati yang syukur dan istri mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif)

Tingkatan-tingkatan Amalan
Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيِءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6502)

Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)

Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu contoh, shadaqah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun sebesar dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya dengan shadaqah kita, meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.

Luasnya Rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala
Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

Orang yang menggabungkan antara iman dan amal shalih akan Allah Subhanahu wa Ta'ala beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rizki yang halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.

Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلاَ يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).” (Al-An’am: 160)

Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.

Barakah Keikhlasan
Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat barakah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari marabahaya. Dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang shalih lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala jaga harta warisan dari orangtuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 82.

Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bermalam di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai perantara) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah Subhanahu wa Ta'ala kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.

Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa orang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.

Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun
Allah Maha Adil dan tidak mendzalimi hamba-Nya. Barangsiapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun pasti dia akan melihat balasan kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun niscaya dia melihat pembalasannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يِا نِسَاءَ الْـمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرْنَ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. (Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya):
“Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena haus, tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari para pezina Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan memberi minum anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala) karenanya.” (Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)

Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka, orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): “Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau mewariskan (meninggalkan) mushaf (Al-Qur`an) atau meninggalkan anak yang memintakan ampunan baginya setelah matinya.” (HR. Al-Bazzar dan dihasankan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602)

Dan tersebut dalam hadits:
مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ: وَاللهِ لَأُنْحِيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِينَ لاَ يُؤْذِيْهِمْ. فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ
“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut dimasukkan (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)

Coba renungkan hadits tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut dimasukkan ke dalam jannah karena melakukan cabang keimanan yang terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?

Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal shalih sangatlah banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu lain yang bisa kita masuki. Juga, terkadang seseorang menganggap suatu amalan itu remeh padahal di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala itu besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Inilah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha)

Shalat sunnah sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan kekal. Sedangkan dunia, seberapapun seorang mendapatkannya maka ia akan lenyap.

Harta Kita yang Sesungguhnya
Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah kita suguhkan untuk kebaikan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ. قَالَ: فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ
“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan, sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan.” (HR. Al-Bukhari)

Ibnu Baththal rahimahullahu berkata:
“Dalam hadits ini ada anjuran untuk menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta pada sisi-sisi taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di akhirat. Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Sedangkan yang mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari, 11/260)

‘Aisyah radhiyallahu 'anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2470)

Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di sisi-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

sumber : majalah Asy Syari'ah

Senin, 08 Februari 2010

Sanggupkah Aku Menjawabnya ??

Sungguh,... saat itu akan datang sebagaimana telah sering aku saksikan ia mendatangi orang lain, teman-temanku, tetanggaku, bahkan orang tua atau kerabatku. Sungguh, saat itu tak mungkin kuduga sebagaimana juga mereka tak pernah menduga didatangi olehnya. Sungguh dia akan menjemput aku pergi ke tempat yang tak mampu aku bayangkan, tempat yang tak pernah kembali lagi mereka yang pergi ke sana, tempat yang di sana aku akan dihadapkan dengan pertanyaan. 
Sungguh, semua itu benar adanya. Tak ada alasan bagi ku untuk tidak percaya hal itu bakal terjadi, sebagaimana tak ada alasan bagi ku untuk mengingkari adanya Al Khaliq. Juga sebagaimana tak ada alasan bagi ku untuk memungkiri adanya getaran kegelisahan dalam bathinku tatkala aku melakukan perbuatan yang fitrahku mengenalnya sebagai dosa. 
Hanya saja. Sanggupkah aku menghadapi itu? Saat di mana aku didudukkan di lubang yang gelap, kemudian datanglah kepadaku dua malaikat mengajukan pertanyaan: Siapa Rabb-mu, apa agamamu, dan siapa nabimu? 
Sanggupkah aku menjawabnya? ... 
Apa yang akan aku katakan, ketika ditanya tentang siapa Rabb-ku? Cukupkah kujawab: Rabb-ku adalah Allah Subhanahu Wa Ta’aala? Semudah itukah menghadapi fitnah kubur? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanamkan dalam jiwaku keyakinan akan adanya Engkau, tertanam pula keyakinan ,bahwa tidaklah segala sesuatu itu ada dan terjadi dengan sendirinya serta tanpa maksud dan tujuan. 
Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: “Mustahil aku akan tersesat dan terjatuh ke dalam kekufuran.”? Bolehkah terucap lewat lisanku: “Keberhasilan yang aku peroleh adalah semata-mata hasil prestasiku.”? Bolehkah aku beranggapan : “Bahwa tanda keridhaan-Mu adalah dengan terjadinya apa yang terjadi atau berlakunya apa yang hendak aku lakukan.”? 
Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Alangkah kejamnya Engkau, membiarkan seorang bayi lahir dalam keadaan cacat. Alangkah tak adilnya Engkau, membiarkan pelaku maksiat sejahtera bermandikan kesenangan, sedangkan mereka yang taat dalam keadaan miskin berlumurkan kesengsaraan.” 
Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun, mengapa sering bathin ini protes manakala aku tertimpa musibah atau doaku tak kunjung terkabul? 
Ya, Allah. Ternyata tak ada jalan untuk mengenalMu kecuali melalui diri-Mu. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam dalam batinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku segala yang bertentangan dengan kekuasaan-Mu, bertentangan dengan hak-Mu untuk diibadahi, serta bertentangan dengan kemuliaan nama-nama dan sifat-sifat-Mu. Maka, sudahkah aku mengenal segala kekuasan-Mu dan mengakui keesaan-Mu dalam hal mencipta, memiliki, dan mengatur alam semesta ini? 
Kemudian, apa yang akan aku katakan ketika ditanya tentang apa agamaku? Cukupkah kujawab: Agamaku Islam? Semudah itukah menghadapi fitnah kubur? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanam di dalam jiwaku keyakinan akan kesempurnaan agama ini, tertanam pula keyakinan bahwa agama ini disampaikan kepada manusia agar mereka memperoleh kemudahan dan kebahagiaan hidup di dunia - sebelum di akhirat kelak tentunya-. 
Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: ”Agama ini tidak realistis, kurang membumi.”? Bolehkah terucap lewat lisanku: “Zaman sekarang ini jangankan mencari yang halal, mencari yang haram saja susah.”? Bolehkah aku beranggapan: “Semua agama itu baik.”? 
Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Alangkah enaknya menjadi orang-orang kafir di muka bumi ini, alangkah kunonya agama ini, dan alangkah sempit serta terbatasnya ruang ibadah yang tersedia di sana.” Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun mengapa sering bathin ini protes manakala terasa dunia dan segala suguhannya tak memihak kepada ku? Mengapa bathin ini diam saja dan tak sedikitpun tergerak untuk membenci mereka yang menghujat agama ini? 
Ya, Allah. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam di dalam bathinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku segala yang bertentangan dengan agama yang mulia ini. Bahkan boleh jadi aku tak mengenal agama ini sebagaimana ia diperkenalkan oleh pembawanya. Boleh jadi aku tak mengenal keseluruhan aturan yang ada di dalamnya. Dan boleh jadi aku telah terjatuh ke dalam perbuatan yang telah mengeluarkan aku darinya. 
Kemudian, apa yang akan aku katakan ketika ditanya tentang siapa nabiku? Cukupkah kujawab: Nabiku Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam? Semudah itukah fitnah kubur? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanam keyakinan dalam bathinku tentang kemuliaan akhlaqnya, sifat amanahnya, dan kejujurannya, tertanam pula keyakinan bahwa dialah Shallallahu 'Alaihi Wasallam teladan terbaik bagi umat manusia. 
Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: “Ada jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala selain dari yang telah dicontohkan oleh beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam” ? Bolehkah terucap lewat lisanku: “Memelihara jenggot itu jorok, menjilat-jilati jari sehabis makan itu juga jorok, dan poligami itu jahat.” ? Bolehkah aku beranggapan: “Mengikuti Sunnahnya itu tidak wajib.”? 
Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam lupa menyampaikan ini dan itu. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sengaja menyembunyikan risalah, atau Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak mengetahui apa yang baik bagi umatnya. Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun mengapa sering bathin ini protes dan merasa berat dengan apa yang telah ia tetapkan dan contohkan ? Mengapa akal dan hawa nafsu ini sering merasa lebih tahu -tentang baik dan buruk- ketimbang beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam? 
Ya, Allah. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam di dalam bathinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku berbagai pengingkaran terhadap kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. 
Boleh jadi itu bermula dari acuh tak acuhnya aku untuk mengenal nama-nama dan nasab beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan dari kurang minatnya aku membaca serta mempelajari riwayat hidupnya. Akhirnya butalah aku akan sunnah-sunnahnya dan tak mengertilah aku akan misi risalahnya. Dan jadilah aku orang yang hanya ikut-ikutan menyebut namanya tanpa memahami pertanggungjawabannya. 
Sanggupkah aku menjawabnya ?... 
Sungguh, aku akan berhadapan dengan pertanyaan yang jawabnya tak cukup di lisan, tetapi dari dalam keyakinan dan dibuktikan oleh perbuatan. Bukan hasil dari menghafal, tetapi dari beramal.Tak ada yang sanggup menuntun aku untuk menjawabnya kelak kecuali Engkau, Ya Allah. Aku tahu itu dan aku yakin, sebagaimana telah Engkau janjikan: 
“Allah Subhanahu Wa Ta’aala meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat...”(QS.Ibrahim: 27)
sumber:http://www.ahlussunnah-jakarta.com

Sabtu, 06 Februari 2010

Agungkan Ilmu dalam Hatimu

Dunia, memang masih menjadi orientasi utama banyak orang. Tak heran, harta yang berlimpah, jabatan, popularitas, dan berbagai bentuk kesenangan lainnya menjadi buruan manusia siang malam. Padahal dunia adalah fatamorgana, kesenangan yang dirasakan akan menyisakan kehampaan, kepedihan, dan keletihan. Hanya ilmu agama yang bisa meredam ambisi manusia terhadap sifat serakah terhadap dunia.

Siapa yang tak mengharapkan anaknya menjadi seorang yang punya kedudukan? Sepertinya, hampir tak ada orangtua yang tak memiliki bayangan cita-cita setinggi langit untuk anak mereka. Biasanya, sejak si anak masih dalam buaian, mereka telah menyimpan berbagai keinginan dan harapan. Pokoknya, yang terbaiklah yang ada dalam angan-angan. "Semoga anakku menjadi 'orang', semoga memiliki masa depan yang lebih baik dari pada ibu bapaknya, semoga jadi orang yang paling ini, paling itu …." dan sejuta lambungan 'semoga' yang lainnya.
Tak berhenti sampai di situ, bahkan segala yang dapat mendukung tercapainya cita-cita itu pun turut disediakan sejak dini. Mulai dari tabungan biaya pendidikan, sampai prasarana yang diperkirakan menunjang pun disiapkan baik-baik. Berbagai pendidikan prasekolah pun diikuti agar melicinkan jalan si anak memperoleh cita-citanya atau justru cita-cita orangtuanya.
Namun di balik segala cita-cita, ada sebuah kemuliaan yang seringkali justru terluputkan, bahkan diremehkan oleh banyak orangtua. Padahal inilah kemuliaan hakiki yang akan didapatkan oleh si anak jika dia benar-benar meraihnya. Kemuliaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya yang mulia:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا العِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”(Al-Mujadilah: 21)
Demikianlah, dalam kalam-Nya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Dia akan mengangkat derajat orang yang beriman lagi berilmu di atas orang yang beriman namun tidak berilmu. Ketinggian derajat akan diperolehnya di dunia berupa kedudukan yang tinggi serta reputasi yang baik, juga akan dicapai pula di akhirat berupa kedudukan yang tinggi di dalam surga. (Fathul Bari 1/186)
Mengapa tak cukup kedudukan dan kekayaan sebagai bekal? Bukankah dengan itu anak akan mendapatkan segalanya? Nampaknya benar bila kita tak mengkaji dalam-dalam. Namun sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan, sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Kabsyah Al-Anmari radhiyallahu 'anhu:
إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِي مَالِهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ وَهُمَا فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
“Dunia itu diberikan kepada empat golongan: (1) seorang hamba yang Allah anugerahi harta dan ilmu, maka dia pun bertakwa kepada Rabbnya dalam hal hartanya, menggunakan hartanya untuk menyambung tali kekerabatan dan mengetahui bahwa Allah memiliki hak dalam hartanya itu, maka dia berada pada derajat yang paling mulia di sisi Allah. (2) Dan seorang hamba yang Allah karuniai ilmu namun tidak diberi harta, dia adalah seorang yang benar niatnya. Dia katakan, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti amalan Fulan’, maka dengan niatnya itu pahala mereka berdua sama. (3) Juga seorang hamba yang Allah beri harta namun tidak dikaruniai ilmu, sehingga dia gunakan hartanya tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa kepada Rabbnya dalam hartanya itu, tidak menggunakannya untuk menyambung tali kekerabatan, dan tidak pula mengetahui ada hak Allah dalam hartanya, maka dia berada pada derajat yang paling hina di sisi Allah. (4) Dan seorang hamba yang tidak Allah beri harta maupun ilmu, lalu dia mengatakan, ‘Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Fulan’, maka dengan niatnya itu dosa mereka berdua sama." (HR. At-Tirmidzi no. 2325, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih)
Dengan begitu, jelaslah bahwa sekedar bekal harta takkan cukup bagi seseorang. Perlu sesuatu yang lebih penting daripada itu, yang justru nanti akan menyelamatkannya dari kerusakan dalam mengelola harta yang dimilikinya. Itulah ilmu. Akan berbeda tentunya orang yang mengetahui syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan orang yang tidak mengetahuinya, bagaikan perbedaan siang dan malam, sebagaimana Allah firmankan dalam Tanzil-Nya:
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?” (Az Zumar: 9)
Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah menasehatkan tentang keutamaan ilmu dibandingkan dengan harta:
العِلْمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ، العِلْمُ يَحْرُسُكَ وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ، العِلْمُ يَزْكُو عَلَى العَمَلِ وَالْمَالُ تُنْقِصُهُ النَّفَقَةُ، وَمَحَبَّةُ العَالِمِ دِيْنٌ يُدَانُ بِهِ، العِلْمُ يُكْسِبُ العَالِمَ الطَّاعَةَ فِي حَيَاتِهِ، وَجَمِيْلَ اْلأُحْدُوْثَةِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَصَنِيْعَةُ الْمَالِ تَزُوْلُ بِزَوَالِهِ، مَاتَ خُزَّانُ اْلأَمْوَالِ وَهُمْ أَحْيَاءُ وَالْعُلَمَاءُ بَاقُوْنَ مَا بَقِيَ الدَّهْرُ، أَعْيَانُهُمْ مَفْقُوْدَةٌ وَأَمْثَالُهُمْ فِي القُلُوْبِ مَوْجُوْدَةٌ
“Ilmu itu lebih baik daripada harta, karena ilmu akan menjagamu sementara harta harus engkau jaga. Ilmu akan terus bertambah dan berkembang dengan diamalkan sementara harta akan terkurangi dengan penggunaan. Dan mencintai seorang yang berilmu adalah agama yang dipegangi. Ilmu akan membawa pemiliknya untuk berbuat taat selama hidupnya dan akan meninggalkan nama yang harum setelah matinya. Sementara orang yang memiliki harta akan hilang seiring dengan hilangnya harta. Pengumpul harta itu seakan telah mati padahal sebenarnya dia masih hidup. Sementara orang yang berilmu akan tetap hidup sepanjang masa. Jasad-jasad mereka telah tiada, namun mereka tetap ada di hati manusia." (dinukil dari Min Washaya As-Salaf, hal. 13-14)
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu pernah pula mengatakan:
بَابٌ مِنَ الْعِلْمِ يَتَعَلَّمُهُ الرَّجُلُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Satu bab ilmu agama yang dipelajari oleh seseorang lebih baik baginya daripada dunia seisinya.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 18)
Ayat-ayat di dalam Al-Qur`an, maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan kemuliaan orang yang berilmu amat berbilang banyaknya. Ayat dalam surah Al-Mujadilah di atas adalah salah satunya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali ilmu:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu padaku.” (Thaha: 114)
Ash-Shadiqul Mashduq (yang jujur dan dibenarkan kabar yang dibawanya), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa orang berilmu akan mendapatkan kebaikan hakiki dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini disampaikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhuma ketika berkhutbah:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan, maka Allah akan faqihkan dia dalam agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan keutamaan ilmu dan memahami agama serta berisi anjuran untuk mendapatkannya. Karena semua ini akan menuntun seseorang untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Syarh Shahih Muslim, 7/127)
Dari sini bisa dipahami pula bahwa orang yang tidak memahami agama –dalam arti mempelajari kaidah-kaidah Islam dan segala yang berkaitan dengannya– berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan dari kebaikan. (Fathul Bari, 1/217)
Inilah yang dicita-citakan oleh para pendahulu kita yang shalih. Mereka tidak bercita-cita agar anak mereka kelak menjadi hartawan atau penguasa, karena mereka sangat memahami, kemuliaan dan kebaikan mana yang hakiki. Oleh karena itu, mereka senantiasa berupaya agar anak-anak mereka menjadi anak-anak yang berhias dengan adab yang tinggi dan berbekal dengan ilmu. Mereka merasakan kebanggaan bila si anak memiliki pemahaman terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini lebih dari kebanggaan apa pun, dan merasakan penyesalan bila si anak terlewatkan dari keutamaan seperti ini.
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu menyertakan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma untuk duduk di majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama orang-orang dewasa dari kalangan para sahabat. Ibnu ‘Umar adalah peserta termuda dalam majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. ‘Umar pun merasa bangga bila sang putra memiliki ilmu lebih daripada yang dimiliki orang lain yang ada di situ. Peristiwa ini dikisahkan sendiri oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma:
كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاهُ، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ عُمَرُ: لأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا
“Kami dulu pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan padaku tentang sebuah pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘Waktu itu terlintas dalam benakku bahwa itu adalah pohon kurma. Namun aku melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan pula untuk menjawabnya. Ketika para shahabat tidak menjawab sedikit pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Itu pohon kurma.’ Saat kami telah bubar, kukatakan pada ayahku ‘Umar, ‘Wahai ayah, demi Allah, sesungguhnya tadi terlintas dalam benakku, itu adalah pohon kurma.’ Ayahku pun bertanya, ‘Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?’ Ibnu ‘Umar menjawab, ‘Aku melihat anda semua tidak berbicara sehingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu.’ Kata ‘Umar, ‘Sungguh kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!’.” (HR Al-Bukhari no. 4698)
Para pendahulu kita amat bersemangat agar anak-anak mereka memiliki pendidik semenjak kecil dan benar-benar berpesan pada si anak agar bersemangat belajar. Mereka pun betul-betul perhatian dengan memberikan sarana yang akan digunakan anak mereka untuk menuntut ilmu. Seperti ‘Utbah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhu yang berpesan kepada pendidik putranya: "Ajarilah dia Kitabullah, puaskan dia dengan hadits dan jauhkan dia dari syi’ir." (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 30)
Banyak gambaran dalam kehidupan salafush shalih yang melukiskan semangat mereka terhadap pendidikan anak yang dilatari dan dilandasi dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka ajarkan pada si anak tentang beratnya perjalanan menuntut ilmu dengan segala aral merintang. Bahkan mereka tak segan kehilangan harta untuk perjalanan anak-anak mereka menuntut ilmu agar kelak dapat memberikan manfaat pada diri si anak sendiri dan lebih dari itu, pada Islam dan kaum muslimin.
‘Ali bin ‘Ashim Al-Wasithi rahimahullahu menceritakan tentang kesungguhan pengorbanan ayahnya, “Ayahku pernah memberiku uang seratus ribu dirham sambil berkata, 'Pergilah untuk menuntut ilmu, dan aku tak ingin melihat wajahmu kecuali setelah engkau menghapal seratus ribu hadits!’.” ‘Ali pun pergi jauh untuk menuntut ilmu, kemudian pulang untuk mengajarkan ilmu yang didapatkannya, sampai-sampai yang hadir di majelisnya lebih dari tigapuluh ribu orang. (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 32)
Begitu pula Al-Mu’tamir bin Sulaiman mengisahkan tentang pesan sang ayah, “Ayahku pernah menulis surat padaku saat aku berada di Kufah, ‘Belilah buku dan catatlah ilmu, karena harta itu akan musnah, sementara ilmu itu akan kekal’.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 32)
Bila ilmu dimiliki oleh seseorang, maka kehormatan dan kemuliaan akan datang tanpa diundang dan dicari-cari.Tak memandang apakah dia keturunan bangsawan atau seorang budak, ataukah dia seorang rupawan atau tidak. Memang, bila akhirat menjadi tujuan seseorang, maka dunia pun akan Allah Subhanahu wa Ta’ala datangkan kepadanya. Sebaliknya, bila dunia yang menjadi cita-citanya, maka kehinaan semata yang akan dia dapatkan. Demikian dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu pernah mendengar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتِ اْلآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah akan jadikan kekayaan dalam hatinya, dan Allah kumpulkan baginya urusannya yang tercerai-berai, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan tidak suka kepadanya. Dan barangsiapa yang dunia menjadi cita-citanya, Allah akan jadikan kefakiran di depan matanya, Dia cerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak akan mendatanginya kecuali hanya apa yang telah ditentukan baginya." (HR. At-Tirmidzi no. 2465, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih)
Ibnul Jauzi rahimahullahu pernah menasihati putranya dan menganjurkannya untuk menyibukkan diri dengan ilmu. Beliau berkata, “Ketahuilah, ilmu itu akan mengangkat orang yang hina. Banyak kalangan ulama yang tidak memiliki nasab yang bisa dibanggakan dan tidak punya wajah yang rupawan.”
Bahkan ‘Atha` bin Abi Rabah rahimahullahu adalah seorang yang berkulit hitam dan berwajah jelek, namun didatangi oleh Khalifah Sulaiman bin ‘Abdil Malik bersama dua orang putranya. Mereka duduk di hadapan ‘Atha` untuk bertanya masalah manasik haji. ‘Atha` pun menjelaskan pada mereka bertiga sambil memalingkan wajahnya dari mereka. Sang Khalifah berkata kepada kedua putranya, “Bangkitlah, dan jangan lalai dan malas untuk mencari ilmu. Aku tidak akan pernah melupakan kehinaan kita di hadapan budak hitam ini.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 33)
Kalau demikian kenyataannya, tentunya orangtua tak akan membiarkan angan-angannya melambung tanpa arah. Mengantarkan anak menjadi seorang yang mengerti tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala seluk-beluknya berarti mengantarkan anak menjadi seorang yang akan dimuliakan di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, hendaknya orangtua selalu berusaha membimbing anak-anaknya untuk mengikuti halaqah-halaqah ilmu, menekankannya, dan menyemangati mereka agar bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan untuk menuntut ilmu, tanpa rasa bosan dan letih. Karena jalan ini akan menyampaikan mereka pada ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berujung jannah-Nya yang kekal abadi. Benarlah janji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya dengan ilmu tersebut, jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
sumber:http://www.asysyariah.com/