Biasanya seseorang yang terpengaruh dengan lingkungannya, cenderung untuk menyamakan dirinya dengan masyarakat disekitarnya. Ketika ada suatu sunnah yang tidak dikerjakan oleh masyarakat sekitarnya, maka ia tidak berani melakukannya. Hal ini dikarenakan rasa malu, minder atau khawatir dianggap tidak bermasyarakat.
Padahal justru pada masa-masa seperti itu seseorang yang menerapkan Sunnah akan mendapatkan pahala besar, lima puluh kali lipat pahala para shahabat Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam. Ini sesuai dengan sabda beliau :
“Sesungguhnya dibelakang kalian nanti ada hari-hari sabar bagi orang-orang yang pada waktu itu berpegang dengan apa yang kalian ada di atasnya. Mereka akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian. Para shahabat bertanya : ‘Wahai nabi Alloh, apakah lima puluh kali pahalanya dari mereka ?’ Beliau menjawab : ‘Bahkan dari kalian’.” [HR. Marwazi dalam As-Sunnah]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya dibelakang kalian ada hari-hari dimana orang yang sabar ketika itu seperti memegang bara api. Mereka yang mengamalkan Sunnah pada hari itu akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian yang mengamalkan amalan tersebut.” Para shahabat bertanya : “Mendapatkan pahala lima puluh kali dari kita atau dari mereka ?” Rosulullah menjawab : “Bahkan lima puluh kali pahala dari kalian.” [HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Dishohihkan oleh Imam Hakim dan disepakati oleh Dzahabi ; lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal.49]
Berkata Syaikhul Islam ibn Taimiyah : “Tidak mengapa kita meninggalkan suatu perkara yangmustahab (tidak wajib), tetapi kita tetap tidak boleh meninggalkan keyakinan di-Sunnah-kannya amalan tsb. Karena mengenali Sunnah-nya amalan tsb merupakan fardhu kifayah agar tidak hilang sedikitpun dari agama ini.” [Majmu' Fatawa juz IV hal.436]
Semoga Alloh merahmati Ibnul Qoyyim ketika dia berkata : “Kalau semua perkara yang mustahab ditinggalkan, maka akan hilanglah Sunnah-sunnah Rosulullah dan akan lenyap garis-garisnya serta sirna jejak-jejaknya. Betapa banyak amalan-amalan yang dilaksanakan menyelisihi Sunnah yang jelas, sesuai dengan bertambah jauhnya zaman sampai sekarang. Setiap waktu ada Sunnah yang ditinggalkan dan dikerjakan yang selainnya, begitulah seterusnya. Akhirnya kau lihat sedikit sekali Sunnah yang dikerjakan, itupun dalam keadaan tidak sempurna… [ I'lamul Muwaqi'in, 2/395 ; Lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdussalam bin Barjas, hal.86]
Demikianlah, jika manusia dibiarkan meninggalkan perkara yang Sunnah, kemudian kita juga tidak mau menegakkannya karena masyarakat tidak mengerjakannya, niscaya akan matilah Sunnah dan tidak dikenal lagi oleh masyarakat. Suatu saat kelak ketika ada yang mengerjakan Sunnah tsb akan dianggap sebagai orang yang mengerjakan kebid’ahan.
Sebagai contoh, Sunnah yang telah diperintahkan oleh Alloh, dilakukan oleh Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam, para shahabat dan para Ulama yang setelahnya, yaitu SunnahTa’addud atau Poligami. Betapa kerasnya manusia -bahkan kaum muslimin sendiri- yang menentang Sunnah ini. Orang yang melakukannya seakan-akan dia adalah orang jahat yang melakukan suatu aib yang besar. Padahal asal perintah Alloh dalam masalah perkawinan adalah untuk berpoligami. Kecuali mereka yang tidak mampu untuk berbuat adil, maka diberi keringanan untuk beristri satu saja.
Ini adalah salah satu bukti tentang satu perkara Sunnah yang jika ditinggalkan oleh kebanyakan kaum muslimin dalam kurun waktu yang lama, maka manusia akan mengingkari Sunnah tsb, seperti pengingkaran mereka terhadap suatu kebid’ahan atau bahkan lebih dari itu.
Memang orang yang memulai menghidupkan suatu Sunnah pada masa umat meninggalkannya akan mendapatkan resiko yang berat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat diatas. Orang yang mengerjakannya seperti orang yang memegang bara api. Jika dipegang tangan terbakar, namun jika dilepaskan kita akan tersesat jauh dari jalan Rosulullah. Namun resiko itu sesuai dengan pahalanya yang besar, yaitu limapuluh kali para shahabat.
Disamping itu, agama ini memang bermula dengan keasingan dan pada saatnya akan kembali asing seperti permulaannya. Jika dengan alasan masih asing, kemudian kita meninggalkan Sunnah maka akan lenyaplah Islam. Rosulullah telah mengkhabarkan akan asingnya agama ini pada mulanya dan akan kembali menjadi asing pada saatnya. Namun beliau juga sekaligus memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang terasing karena menjalankan agama ini.
“Sesungguhnya Islam bermula dengan keasingan dan akan kembali asing seperti permulannya, maka berbahagialah orang-orang yang asing.” [HR. Muslim]
Untuk itu, janganlah perasaan asing, malu, takut, dll menjadikan kita meninggalkan Sunnah. Kita harus ingat bahwa Sunnah adalah Islam, dan Islam tidak lain melainkan kumpulan Sunnah-sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al Barbahari dalam bukunya, Syarhus Sunnah : “Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam. Tidak akan tegak salah satunya kecuali dengan yang lainnya.”
Jika berkurang satu Sunnah maka berkuranglah kesempurnaan Islam, begitulah seterusnya hingga akan hilanglah Islam secara keseluruhan. Berkata Abdullah ibn Dailami : “Sesungguhnya awal pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya Sunnah. Agama ini akan hilang satu Sunnah demi satu Sunnah seperti hilangnya tali satu kekuatan demi kekuatan.” [Ushul I'tiqod Ahlussunnah, Al-Lalikai 1/93]
Oleh karena itulah Ahlul Bid’ah dikatakan oleh para Ulama sebagai orang yang ikut andil dalam menghancurkan Islam. Karena dengan kebid’ahan yang mereka lakukan, maka ada Sunnah yang tergeser. Semakin banyak bid’ah dikerjakan, semakin banyak pula Sunnah yang hilang, hingga hancurlah Islam.
Sedangkan Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’-nya menyatakan bahwa orang-orang yang mematikan Sunnah itu ada dua jenis. Pertama orang-orang yang mengerjakan kebid’ahan-kebid’ahan dan yang kedua orang-orang yang tidak mau menghidupkan Sunnah.
Ketahuilah, bahwa disamping resiko yang akan dihadapi oleh orang yang memulai menghidupkan Sunnah, ada pula maslahat bagi agama yang besar, yaitu hidupnya Sunnah. Adapun mafsadah atau resiko yang dihadapinya hanyalah bersifat pribadi. Tentunya maslahat agama harus lebih diutamakan daripada maslahat pribadi.
Dengarkanlah apa yang diucapkan oleh Imam Asy-Syatibi berikut : “Aku ragu dan berulang kali menghitung antara menerapkan Sunnah dengan konsekuensi menyelisihi kebiasaan manusia yang tentunya akan mendapatkan resiko seperti apa yang telah didapatkan oleh orang yang menyelisihi adat kebiasaan kaumnya ; apalagi kalau mereka menganggap apa yang biasa mereka lakukan tidak lain adalah Sunnah ; namun disamping resiko yang berat itu ada pahala yang besar. Atau aku memilih untuk mengikuti kebiasaan mereka dengan konsekuensi menyelisihi Sunnah dan menyelisihi jalan Salafush Shalih hingga aku digolongkan termasuk orang-orang yang menyimpang -Na’udzubillahi min dzalik-. Namun karena aku mencocoki kebiasaan manusia akan dianggap sebagai orang yang bisa bermasyarakat dan tidak termasuk orang yang menyelisihi adat. Akhirnya aku berpendapat bahwa kebinasaan dalam mengikuti Sunnah adalah KESELAMATAN, dan bahwasanya manusia tidak akan bisa mencukupi aku dari Alloh sedikitpun.” [Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdussalam bin Barjas hal.88]
sumber: http://ummfulanah.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar