Kamis, 31 Desember 2009

Akankah Amalku Diterima ?

Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.
Dalam mengarungi lautan hidup ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah yang berlaku pada hidup setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun banyak yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.
Kerikil dan duri-duri hidup memang telalu banyak. Maka, untuk menyingkirkannya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Subhanahuwata'ala. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?
Sebelum semua itu terjadi, kini kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Subhanahuwata'ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling menasehati dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ’Ashr: 1-3)
Sumpah Allah Subhanahuwata'ala dengan masa menunjukkan bahwa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shaleh. Dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah Subhanahuwata'ala. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata'ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.
Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.
Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan
Mengucapkan “Saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu kemudian orang telah sempurna imannya. Ketika memproklamirkan dirinya beriman, maka seseorang memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.
Konsekuensi iman ini pun banyak macamnya. Kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Demikian juga dengan memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan.
Mengamalkan seluruh syariat Allah juga merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam tentang perkara-perkara gaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau merupakan konsekuensi iman. Meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam juga merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3)
Imam As Sa’dy dalam tafsir ayat ini mengatakan: ”Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya keimanan, tidak dibiarkan berada dalam satu keadaan saja, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena kalau seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya), niscaya tidak bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang berpura-pura, serta tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.”
Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.992 dan 993)
Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.
Amal
Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an:
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133)
Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata'ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga.”
Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahuwata'ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169
Allah berfirman:
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148)
Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, karena berlomba-lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”
Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Bersegeralah kalian menuju amal shaleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi)
Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal shaleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170
Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shaleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153)
Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?
Syarat Diterima Amal
Amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahuwata'ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:
Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah Subhanahuwata'ala.
Allah Subhanahuwata'ala berfirman;
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)
Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)
Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata'ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala.
Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah Sholallohu'alaihiwasallam. Beliau bersabda:
“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahuwata'ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.
Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahuwata'ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.
Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahuwata'ala berfirman:
“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)
Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata'ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396
Allah Subhanahuwata'ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri.
Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah – Muhammadarrasulullah.
Wallahu a’lam.
sumber : www.asysyariah.com

Senin, 28 Desember 2009

Kisah Abu Hurairah dan Ibunya




sebagai seorang anak kita diharuskan birul walidain kepada kedua orang tua.jika orang tua kita berbuat khilaf maka kita wajib mengingatkannya dg sabar&ketulusan disertai pula memohonkan ampun untuk keduanya,seperti dalam kisah di bawah ini:
Di dalam Shahih Muslim terdapat kisah Abu Hurairah dan Ibunya.
Kisah ini sangat menarik dan mengandung banyak pelajaran.
Coba kalian baca ya…
Dahulu ibu Abu Hurairah adalah seorang yang musyrik.
Sebagai seorang muslim, Abu Hurairah senantiasa mengajak ibunya agar masuk ke dalam Islam.
Tapi apa yang dilakukan oleh ibunya?
Ibu Abu Hurairah malah membalas ajakan tersebut dengan ucapan yang jelek terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Abu Hurairah pun merasa sedih.
Sampai-sampai dia menangis dan menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Abu Hurairah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengajak ibuku masuk Islam.
Tapi dia tidak mau menurutiku.
Satu hari aku mengajaknya lagi.
Tetapi dia malah mengucapkan sesuatu tentangmu yang aku benci.
Doakanlah kepada Allah agar memberi hidayah kepada Ibuku”.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdoa,
“Ya Allah, berilah hidayah kepada Ibunya Abu Hurairah.”
Abu Hurairah pun merasa sangat girang.
Beliau begitu gembira dengan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Abu Hurairah pun pulang ke rumahnya.
Ketika beliau sampai ke pintu, ternyata pintu itu tertutup.
Ibu Abu Hurairah mendengar langkah kaki putranya.
Ibunya lalu berkata, “Tetap di tempatmu, wahai Abu Hurairah.”
Dari luar Abu Hurairah mendengar suara gemericik air.
Ternyata Ibunya sedang mandi.
Ibunya kemudian memakai baju dan kerudungnya.
Beliau membuka pintu dan berkata,
“Wahai Abu Hurairah…
Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.”
Ibu Abu Hurairah mengucapkan.
Alhamdulillah ya adik-adik..
Akhirnya ibu Abu Hurairah masuk Islam.
Doa Rasulullah pun dikabulkan oleh Allah ta’ala.
Nah adik-adik, begitu ceritanya.
Sekarang, coba kalian perhatikan betapa sayangnya Abu Hurairah kepada ibunya. Dia tidak membiarkan ibunya berada di dalam kekafiran. Dia terus menerus berdakwah dengan penuh kesabaran agar ibunya menerima Islam.
Dan lihat juga akhlak mulia dari Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika mendengar pengaduan Abu Hurairah, beliau langsung mendoakan agar Ibu Abu Hurairah diberi hidayah oleh Allah, meskipun sebelumnya ibu Abu Hurairah berucap jelek tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Semoga akhlak-akhlaq mulia ini bisa kita jadikan contoh dan kita amalkan dalam kehidupan kita.

Minggu, 27 Desember 2009

Menjaga Lisan dari Dosa Besar


Ghibah atau membicarakan orang lain (bisa juga diistilahkan dengan ngerumpi) adalah aktivitas yang ‘mengasyikkan’. Tak sedikit orang, yang secara sadar atau tidak, terjatuh dalam perbuatan ini. Karena memang setan telah menghiasi perbuatan ini sehingga nampak indah dan menyenangkan. Tahukah anda bahwa Allah mengibaratkan ghibah dengan perbuatan memakan daging saudara kita yang telah mati?
Bani Adam adalah makhluk yang lemah, serba kekurangan, dan menjadi tempat kesalahan. Demikianlah fakta yang akan dijumpai bila setiap orang jujur akan hakikat dirinya. Ia lemah dari semua sisi: tubuhnya, semangatnya, keinginannya, imannya, dan lemah kesabarannya. Dengan keadaan seperti ini, Allah dengan kemahabijaksanaan-Nya memberikan beban syariat sesuai dengan kesanggupannya. Demikian yang dikatakan Asy-Syaikh Sa’di dalam Tafsir-nya.
Terkadang kelemahan ini menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam perbuatan dosa dan maksiat. Mendzalimi diri sendiri, orang lain, bahkan mendzalimi Allah. Keadaan demikian banyak terjadi pada manusia khususnya yang tidak mendapat hidayah dan rahmat dari Allah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72).
Banyak sekali faktor yang mendorong manusia untuk berbuat kesalahan atau kemaksiatan. Terkadang dorongan itu datang dari dalam diri sendiri dan terkadang dari luar. Berbahagialah orang yang mengerti kelemahan dirinya.
Abu Ad-Darda radhiallahu 'anhu berkata:
“Termasuk wujud ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui imannya bertambah atau berkurang. Dan termasuk dari barakah ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui darimana setan akan menggelincirkannya.” (Asbab Ziyadatul Iman, hal. 10).
Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan adalah lisan. Sungguh betapa ringan lisan ini digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah. Serta betapa berat untuk diajak berdzikir kepada Allah. Demikan hakikat lisan sebagaimana ucapan Abu Hatim: “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui asin atau tidaknya makanan dan minuman, atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan sangat tanggap pula bila mata melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah, lidah itu tak bertulang.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu).
Namun bukan berarti engkau diam dari suatu kemungkaran dan diam untuk mengucapkan kebenaran. “Setan bisu” itulah gelar dan panggilan seseorang yang diam dari kemungkaran dan tidak mau menyuarakan kebenaran.
Makna Ghibah
Tidak ada penafsiran terbaik tentang makna ghibah selain penafsiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits beliau. Bila ada penafsiran para ulama tentang ghibah maka tidak akan terlepas dari penafsiran beliau meski dengan ungkapan yang berbeda. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan makna ghibah ini dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Kamu menceritakan tentang saudaramu apa yang dia tidak sukai.” Dikatakan kepada beliau: “Bagaimana pendapat engkau bila apa yang aku katakan ada pada saudaraku itu?” Beliau menjawab: “Jika apa yang kamu katakan ada pada saudaramu maka kamu telah mengghibahinya, dan jika apa yang kamu katakan tidak ada pada dirinya, maka kamu telah berdusta.”(Shahih, HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874, dan At-Tirmidzi no. 1435).
Ghibah adalah Dosa Besar
Dari keterangan di atas, diambil kesimpulan bahwa makna ghibah adalah menceritakan seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Bila apa yang diceritakan tidak ada pada orang tersebut, ini merupakan dusta atas namanya dan tentu saja dosanya lebih besar dari yang pertama.
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan:
“Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan (dalam hal yang) maslahatnya lebih kuat, seperti dalam jarh dan ta’dil (menerangkan perawi hadits) dan nasehat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika seseorang yang jahat meminta izin kepada beliau untuk bertemu beliau, maka beliau berkata: ‘Izinkan dia, sesungguhnya dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.’ Juga seperti sabda beliau kepada Fathimah binti Qais saat dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan) bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/215).
Ghibah jelas perbuatan terlarang. Bahkan ia termasuk perbuatan dosa besar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 12).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram seperti haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Bakrah).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Ketika saya dibawa naik, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga yang dengannya mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya:’Hai Jibril, siapakah mereka?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah kaum yang telah memakan daging orang lain dan menginjak-injak kehormatan mereka’.” (HR. Abu Dawud no. 4878 dari shahabat Anas bin Malik dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4082 dan dalam Ash-Shahihah no. 533).
Masih banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang keharaman ghibah dan bahwa ghibah termasuk dosa besar.
Kapan Boleh Mengghibah
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Ghibah dibolehkan dengan tujuan syariat yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya.”
Dibolehkah ghibah pada enam perkara:
1. Ketika terdzalimi.
2. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.
3. Meminta fatwa.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari sebuah kejahatan atau untuk menasihati mereka.
5. Ketika seseorang menampakkan kefasikannya.
6. Memanggil seseorang yang dia terkenal dengan nama itu.
(Riyadhus Shalihin, bab “Apa-apa yang Diperbolehkan untuk Ghibah”)
Cara Bertaubat dari Ghibah
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, orang yang telah berbuat ghibah tidak harus mengumumkan taubatnya. Cukup baginya memintakan ampun bagi orang yang dighibahi dan menyebutkan segala kebaikannya di tempat-tempat mana dia mengghibahinya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah dalam kitabnya Nashihati lin Nisa’ (hal. 31).
Haruskah Meminta Maaf kepada Orang yang Dighibahi?
Dalam permasalahan ini, perlu dirinci:
Pertama, bila orang tersebut mendengar ghibahnya, maka dia harus datang kepada orang tersebut meminta kehalalannya (minta maaf).
Kedua, jika orang tersebut tidak mendengar ghibahnya maka cukup baginya menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan mencabut diri darinya di tempat ia berbuat ghibah.
Al-Qahthani rahimahullahu dalam kitab Nuniyyah beliau (hal. 39) menasihati kita:
“Janganlah kamu sibuk dengan aib saudaramu dan lalai dari aib dirimu, sesungguhnya yang demikian itu adalah dua keaiban.”
Wallahu a’lam.
sumber : majalah Asy-syari'ah

Jumat, 25 Desember 2009

Kisah Seorang Akhwat


Di bawah ini saya tampilkan sebuah kisah seseorang yg mendapat hidayah........
Semoga kita bisa memetik hikmahnya.
Mei 2008-Sore hari setelah hujan reda, sembari menunggu suami pulang KKN aku mencoba meluangkan waktu tuk sejenak flash back kehidupanku.
Dulu sebelum aku menikah, aku adalah seorang wanita yang bekerja di suatu perusahaan KOSMETIK terkenal. Yang namanya di kosmetik, kita harus bersedia di tempatkan dimana saja. Dan pada waktu itu aku ditempatkan di luar kota tempat tinggalku. Aku seneng coz aku bisa banyak pengalaman & punya banyak teman baru.
Sebenernya agak-agak takut juga sih coz ini pertama kali aku merantau &aku sama sekali nggak punya teman di kota itu. Aku nekat aza karena aku yakin Alah k pasti akan melindungi hamba-hambaNya yang slalu ingat padaNya n aku juga berprinsip : “ siapa yang menanam kebaekan pasti dia akan menuainya, begitu juga sebaleknya “ (Az Zilzal 7-8) mungkin juga karena aku mempunyai kepribadian yang supel, so lama kelamaan aku punya banyak kenalan.Temenku di luar kerja kebanyakan cowok &mereka sangat baek n perhatian ma aku. Tiap kali dimintain tolong, mereka slalu ada buatku. Bukannya sombong/membanggakan diri, banyak yang bilang kalo aku itu......(sensored) karena itu mereka baek ma aku n mau mengambil hatiku. Temen-temen kosmetiku juga beranggapan sama kaya aku :” yang namanya cowok pasti baek ma cewek, palagi ma orang ..........(sensored) kaya kamu...ya pasti mau berkorban apa aza demi tuk ngdapetin kamu”.aku sih no problem, selama mereka baek+sopan...why not? Prinsipku : “ lebih baek dicintai daripada mencintai” coz ku nggak pengen lemah gara-gara seorang cowox, dengan begitu kita tidak akan sakit hati hanya karena cowok.
Dengan banyak bergaul aku jadi tahu dunia luar yang banyak orang-orang melanggar syariat-syariat agamanya &berbuat banyak kemaksiatan seakan tidak takut dosa, seperti : pergi ke diskotik mabuk-mabukan, pacaran di luar batas (free sex), orang-orang kaya yang jajan di luar mencari daun muda yang padahal istri-istri mereka juga cantik-cantik &kelihatannya nurut sama suami. Di depan para istri, suami-suami itu seakan setia sama istrinya tapi ternyata di belakang mereka berbuat yang tidak sepantasnya, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain. Mereka melakukan seperti itu hanya karena untuk memuaskan hawa nafsunya, untuk kesenangan dunia yang sesaat (Astaghfirullahal ‘adzim, Na’udzubillahi mindzalik). Padahal kita tahu bahwa dunia ini hanya bersifat sementara &kehidupan yang sesungguhnya adalah nanti di akherat (QS. Al A’la 17).
Setelah apa yang aku tahu tentang kehidupan luar, aku slalu berdo’a mohon kepada Allah l supaya aku mendapat jodoh yang baek soleh yang nantinya isa membimbing aku ke jalanNya, yang tahu agama karena orang yang tahu agama insya Allah tidak akan menyakiti keluarganya &supaya keluarga kami nanti menjadi keluarga samara (sakinah mawadah warohmah) yang diridhoi &diberkahi olehNya...amin. Aku berdo’a seperti itu karena sungguh MasyaAllah banyak sekali cobaan yang aku hadapi, palagi sebagai seorang yang bekerja di kosmetik yang tahu cara merias, merawat &mempercantik diri dengan baek yang menjadikan dandanan &penampilanku lain dari yang lain. Banyak cowok yang pengen deket ma aku termasuk para lelaki hidung belang, banyak rayuan &buaian yang mereka lontarkan menawarkan kesenangan-kesenangan semu supaya aku jatuh ke dalam pelukan mereka supaya tercapai apa yang diinginkan.
Alhamdulillah Allah sayang &mendengar do’aku. Aku mendapat jodoh yang soleh, sayang ma aku &baek ma keluarga juga menjaga hubungan baek dengan tetangga & teman-temannya. Dia merubah aku 180° yang tentunya dengan ijin Allah l. Orang yang kenal aku & tahu gaya hidupku mengatakan : kalo aku ini mendapat Hidayah dari Allah l. Aku yang dulunya suka tebar pesona, pakainnya membuka aurat, seneng-seneng ma temen-temen, ngerjain cowox-cowox dan lain-lain. Sekarang insya Allah aku akan memperbaiki diri berusaha menjadi istri yang solekhah, pakaianku menutup aurat (plus cadar) karena ada perintahnya (Qs. An Nur 31, Al Ahzab 33 & 59) nurut &melayani suami. Karena supaya aku mendapat pahala dari Allah l. Ada sebuah hadist mengatakan, Rosulullah n bersabda : “ wahai istri-istri yang solekhah, masuklah kamu sekalian ke dalam surga lewat pintu mana saja yang kamu suka “. SubhannAllah dengan berbekal iman &takwa kepada Allah l &dengan ikhlas mengerjakan tugas-tugas sebagai ibu rumah tangga menjadi istri yang solekhah, kita bisa masuk surga. 
Jujur waktu bekerja di luar kota, aku mempunyai pacar di kota asalku. Aku &dia bertemu 1 minggu skali, karena waktu aku libur kerja aku pulang ke kotaku &dia maen kerumahku. Padahal hubungan kami sudah lama terjalin tapi dia tidak pernah kasih kepastian akan dibawa kemana hubungan ini sampai suatu saat dia berkata jujur ma aku karena ortunya tidak setuju jika dia jalan ma aku, karena pekerjaanku.mereka melihat hanya dari luarnya saja, menganggap kalau orang kosmetik itu gaya hidupnya glamour sukanya menghambur-hamburkan uang. padahal tidak semua orang kosmetik begitu. Aku tahu itu hanya sebagai alasan saja karena yang ortunya inginkan sebenarnya supaya anaknya dapet orang yang lebih baek sedrajat karena emank jabatan dia di kantornya lumayan tinggi. tapi dia sangat sayang & nggak ingin berpisah denganku, dia minta waktu untuk meyakinkan ortunya. Mendengar alasan ortunya, aku jadi males ma cowoxku itu &aku minta supaya hubungan kami break dulu. Selama aku break ma cowoxku, tanpa terasa ada yang mencuri hatiku. Dia sangat perhatian ma aku, apa yang aku mau slalu dituruti &aku merasa cintanya tulus ma aku. Tapi dia nggak pernah mau ungkapin perasaannya ma aku &akupun menganggapnya sebatas teman yang slalu siap menolong aku, untuk mengisi kekosonganku akupun sering jalan ma dia. Akhirnya aku &cowoxku memutuskan jalan sendiri-sendiri karena percuma menjalin hubungan yang nggak ada ujungnya. Setelah aku putus, aku smakin deket ma cowox itu tapi aku nggak hubungan tanpa status nggak ada kejelasan. Ada cowox laen lagi yang menyatakan cintanya padaku, cowox itu da lama kukenal tapi baru kali ini kami sempet jadian. Dia sayang banget ma aku, mau antar jemput aku 1minggu skali &pintar mengambil hati ortuku. Kamipun sempet jalan beberapa bulan karena setelah itu dia nggak ada kabarnya.
Aku bosan &merasa jenuh dengan apa yang aku alami, aku curhat ma pamanku yang seorang ustad. Pamanku menyarankan aku supaya segera menikah untuk menghindarkan diri dari dosa-dosa. Setelah aku merenung & berpikir akhirnya akupun menuruti kata pamanku, dan aku minta supaya pamanku yang mencarikan pendamping hidup buatku. Dari sinilah aku dikenalkan suamiku, kami kenal 2 minggu dia langsung melamarku. Nggak tahu knapa hati merasa mantap sehingga aku mau menerima lamarannya. Kami knal tgl 9 feb’08 & menikah tgl 9 mrt’08. Setelah aku trima lamarannya banyak sekali coba’an yang datang. yang tadinya nggak ada kabar tiba-tiba muncul meminta maaf & menjelaskan alasannya. Yang dulu ja’im ungkapin isi hatinya, dia ungkapin & jlasin knapa dulu nggak mau mengungkapkannya, sedang mantanku yang pertama dia nyesel karena nggak isa meyakinkan orutnya sampai-sampai dia sakit tahu aku mau married. Tapi semuanya sudah terlambat, penyesalan mereka tak ada gunanya. Apapun alasan mereka aku tetap pada pilihanku yang insya Allah baek bagiku.
Pernikahan kamipun berlangsung alhamdulillah lancar-lancar aja tanpa ada kendala apapun. Tapi yang namanya hidup pasti tidak akan berjalan mulus, palagi sebuah rumah tangga pasti di dalamnya akan banyak coba’an yang harus kami hadapi. Ternyata benar, nggak lama kami nikah temen-temen cowoxku dulu masih banyak yang menghubungiku termasuk mantan cowoxku yang sms kadang masih inget aku. Alhamdulillah suamiku orangnya sabar & memaklumi gangguan-gangguan itu.
Semoga Allah l mau menerima taubatku &merahmati keluarga kami...amien.