Sabtu, 19 Desember 2009

Merayakan Perayaan-perayaan yang Tidak Ada dalam Islam

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji orang-orang yang tidak menyaksikan perayaan orang-orang kafir sebagaimana tersebut di dalam firman-Nya:

وَالَّذِيْنَ لاَيَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zuur.” (Al-Furqan: 72)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang tafsir ayat tersebut: “Dan sungguh telah berkata lebih dari satu orang dari kalangan salaf tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَالَّذِيْنَ لاَيَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ

Mereka mengatakan (tentang makna az-zuur) yaitu hari-hari raya orang kafir. (Majmu Fatawa, 25/331)
Maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menghadiri perayaan orang-orang kafir terlebih merayakannya. Dan termasuk dalam hal ini adalah menjadikan hari raya mereka sebagai hari libur, seperti mengkhususkan hari Sabtu dan Ahad sebagai hari libur.

Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Arab Saudi) menyebutkan dalam fatwanya: “Tidak boleh mengkhususkan hari Sabtu atau Ahad sebagai hari libur, atau menjadikan keduanya sebagai hari libur karena hal itu termasuk meniru-niru orang Yahudi dan Nashara. Karena sesungguhnya Yahudi meliburkan hari Sabtu dan Nashara meliburkan hari Ahad dalam rangka memuliakan kedua hari tersebut…” (Fatawa Al-Lajnah, 2/75)

Kemudian lebih rinci Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan: “Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk meniru-niru mereka dalam hal-hal yang dikhususkan untuk perayaan-perayaan mereka. Tidak pula dalam makanan, pakaian, mandi, menyalakan api, meliburkan kebiasaan bekerja atau beribadah, atau yang selainnya. Dan tidak boleh untuk mengadakan pesta, memberikan hadiah, atau menjual sesuatu yang membantu dan bertujuan untuk acara tersebut. Serta tidak boleh membiarkan anak-anak kecil atau yang seusianya untuk bermain-main kaitannya dengan perayaan tersebut dan tidak boleh memasang hiasan (menghiasi rumah/ tempat tertentu dalam rangka menyemarakkan perayaan tersebut, pent).” (Majmu’ Fatawa, 25/329)

Namun sangat disayangkan masih banyak di antara kaum muslimin yang meniru-niru perayaan mereka. Bahkan ada yang ikut serta merayakan hari raya mereka. Di antaranya ada yang memberikan ucapan selamat atau ikut meramaikannya dengan berbagai acara seperti meniup terompet pada malam tahun baru dan yang semisalnya. Serta memasang hiasan-hiasan di rumahnya pada saat perayaan mereka.

Selanjutnya termasuk dalam hal ini adalah memperingati hari kelahiran seseorang baik itu memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam (perayaan Maulud Nabi) atau hari kelahiran lainnya. Begitu pula merayakan peristiwa-peristiwa tertentu seperti Isra’ Mi’raj, awal tahun baru Hijriyyah, serta merayakan hari atau pekan tertentu sebagai hari khusus untuk beramal seperti hari ibu, pekan kebersihan, dan sebagainya.

Ini bukan berarti kaum muslimin mengabaikan serta tidak mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut. Bahkan kaum muslimin senantiasa dituntut untuk selalu mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang bermanfaat dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun (hal ini dilarang) karena perayaan adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh dikhususkan dengan dilakukan secara berulang-ulang (ditradisikan, red) kecuali ada perintah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala atau Rasul-Nya.

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan: “…Dan perbuatan ini (perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pent) tidak pernah dilakukan pada masa-masa terbaik umat ini, akan tetapi ini hanyalah perbuatan yang diada-adakan pada abad ke-6 Hijriyah dalam rangka mengikuti Nashara yang merayakan hari kelahiran Al-Masih 'alaihissalam Dan sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang dari meniru-niru mereka.” (Al-Khuthab Al-Mimbariyyah, hal. 89)

Jika orang-orang terbaik dari umat ini tidak melakukannya, lalu apa yang menyebabkan seseorang melakukannya? Apakah dirinya merasa lebih tahu dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat? Ataukah dia menganggap para shahabat lebih tahu namun mereka tidak mau mengamalkan ilmunya? Sungguh betapa jelasnya kesesatan yang ia lakukan.

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah juga menyatakan:“Dan termasuk mengikuti mereka (orang-orang kafir, pent) di dalam perayaan-perayaan baik yang bersifat syirik ataupun bid’ah adalah seperti memperingati perayaan-perayaan hari kelahiran, baik kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kelahiran para pemimpin atau penguasa. Dan kadang-kadang perayaan-perayaan yang sifatnya syirik dan bid’ah ini diberi nama dengan penyebutan hari-hari atau pekan-pekan. Seperti hari kemerdekaan, hari ibu, atau pekan kebersihan.” (Al-Khuthab, hal. 43)

Dikutip dari : majalah Asy syari'ah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar