Selasa, 31 Januari 2012

Pakaian Wanita dalam Shalat

Apakah boleh shalat memakai pantaloon (celana panjang ketat) bagi wanita dan lelaki. Bagaimana pula hukum syar’inya bila wanita memakai pakaian yang bahannya tipis namun tidak menampakkan auratnya?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Pakaian yang ketat yang membentuk anggota-anggota tubuh dan menggambarkan tubuh wanita, anggota-anggota badan berikut lekuk-lekuknya tidak boleh dipakai, baik bagi laki-laki maupun wanita. Bahkan untuk wanita lebih sangat pelarangannya karena fitnah (godaan) yang ditimbulkannya lebih besar.
Adapun dalam shalat, bila memang seseorang shalat dalam keadaan auratnya tertutup dengan pakaian tersebut maka shalatnya sah karena adanya penutup aurat, akan tetapi orang yang berpakaian ketat tersebut berdosa. Karena terkadang ada amalan shalat yang tidak ia laksanakan dengan semestinya disebabkan ketatnya pakaiannya. Ini dari satu sisi. Sisi yang kedua, pakaian semacam ini akan mengundang fitnah dan menarik pandangan (orang lain), terlebih lagi bila ia seorang wanita.
Maka wajib bagi si wanita untuk menutup tubuhnya dengan pakaian yang lebar dan lapang, tidak menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya, tidak mengundang pandangan (karena ketatnya), dan juga pakaian itu tidak tipis menerawang. Hendaknya pakaian itu merupakan pakaian yang dapat menutupi tubuh si wanita secara sempurna, tanpa ada sedikitpun dari tubuhnya yang tampak. Pakaian itu tidak boleh pendek sehingga menampakkan kedua betisnya, dua lengannya, atau dua telapak tangannya. Si wanita tidak boleh pula membuka wajahnya di hadapan lelaki yang bukan mahramnya tapi ia harus menutup seluruh tubuhnya. Pakaiannya tidak boleh tipis sehingga tampak tubuhnya di balik pakaian tersebut atau tampak warna kulitnya. Yang seperti ini jelas tidak teranggap sebagai pakaian yang dapat menutupi.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan dalam hadits yang shahih1:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: رِجَالٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسُ وَنِساَءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسَهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ لاَ يَجِدْنَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang saat ini aku belum melihat keduanya. Yang pertama, satu kaum yang membawa cambuk-cambuk seperti ekor sapi, yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua, para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka miring dan membuat miring orang lain. Kepala-kepala mereka semisal punuk unta, mereka tidak akan mencium wanginya surga.”
Makna كَاسِيَاتٌ: mereka mengenakan pakaian akan tetapi hakikatnya mereka telanjang karena pakaian tersebut tidak menutupi tubuh mereka. Modelnya saja berupa pakaian akan tetapi tidak dapat menutupi apa yang ada di baliknya, mungkin karena tipisnya atau karena pendeknya atau kurang panjang untuk menutupi tubuh.
Maka wajib bagi para muslimah untuk memperhatikan hal ini. (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan, 3/158-159)



Kebanyakan wanita bermudah-mudah dalam masalah aurat mereka di dalam shalat. Mereka membiarkan kedua lengan bawahnya atau sedikit darinya terbuka/tampak saat shalat, demikian pula telapak kaki bahkan terkadang terlihat sebagian betisnya, apakah seperti ini shalatnya sah?

Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullahu memberikan jawaban, “Yang wajib bagi wanita merdeka dan mukallaf untuk menutup seluruh tubuhnya dalam shalat terkecuali wajah dan dua telapak tangan, karena seluruh tubuh wanita aurat.
Bila ia shalat sementara tampak sesuatu dari auratnya, seperti betis, telapak kaki, kepala atau sebagiannya, maka shalatnya tidak sah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ الْحَائِضِ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid kecuali bila mengenakan kerudung.” (HR. Al-Imam Ahmad dan Ahlus Sunan kecuali An-Nasa’i dengan sanad yang shahih)
Yang dimaksud haid dalam hadits di atas adalah baligh.
Juga berdasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
“Wanita itu aurat.”2
Juga riwayat Abu Dawud dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang shalat memakai dira’ (pakaian yang biasa dikenakan wanita di rumahnya, semacam daster) dan khimar (kerudung) tanpa memakai izar (sarung/pakaian yang menutupi bagian bawah tubuh). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“(Boleh) apabila dira’ tersebut luas/lebar hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Bulughul Maram berkata, “Para imam menshahihkan mauqufnya haditsnya atas Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.”3
Bila di dekat si wanita (di sekitar tempat shalatnya) ada lelaki ajnabi maka wajib baginya menutup pula wajahnya dan kedua telapak tangannya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/ 409)



Kita perhatikan sebagian orang yang shalat mereka mengenakan pakaian yang tipis hingga bisa terlihat kulit di balik pakaian tersebut. Apa hukumnya shalat dengan pakaian seperti itu?

Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullahu menjawab, “Wajib bagi orang yang shalat untuk menutup auratnya ketika shalat menurut kesepakatan kaum muslimin dan tidak boleh ia shalat dalam keadaaan telanjang, sama saja apakah ia lelaki ataukah wanita.
Wanita lebih sangat lagi auratnya. Kalau lelaki, auratnya dalam shalat adalah antara pusar dan lutut disertai dengan menutup dua pundak atau salah satunya bila memang ia mampu, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu:
إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعًا فَالْتَحِف بِهِ، وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاتَّزِرْ بِهِ
“Bila pakaian/kain itu lebar/lapang maka berselimutlah engkau dengannya (menutupi pundak) namun bila kain itu sempit bersarunglah dengannya (menutupi tubuh bagian bawah).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Juga berdasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
لاَيُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ
“Tidak boleh salah seorang dari kalian shalat dengan mengenakan satu pakaian/kain sementara tidak ada sedikitpun bagian dari kain itu yang menutupi pundaknya.”
Hadits ini disepakati keshahihannya.
Adapun wanita, seluruh tubuhnya aurat di dalam shalat terkecuali wajahnya.
Ulama bersilang pendapat tentang dua telapak tangan wanita: Sebagian mereka mewajibkan menutup kedua telapak tangan. Sebagian lain memberi keringanan (rukhshah) untuk membuka keduanya. Perkaranya dalam hal ini lapang, insya Allah. Namun menutupnya lebih utama/afdhal dalam rangka keluar dari perselisihan ulama dalam masalah ini.
Adapun dua telapak kaki, jumhur ahlil ilmi (mayoritas ulama) berpendapat keduanya wajib ditutup.
Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“(Boleh) apabila dira’ tersebut luas/lebar hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Bulughul Maram berkata, “Para imam menshahihkan mauqufnya hadits ini atas Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha (yakni, ucapan ini adalah perkataan Ummu Salamah bukan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red.).”
Berdasarkan apa yang telah kami sebutkan, wajib bagi lelaki dan wanita untuk mengenakan pakaian yang dapat menutupi tubuhnya, karena kalau pakaian itu tipis tidak menutup aurat batallah shalat tersebut. Termasuk di sini bila seorang lelaki memakai celana pendek yang tidak menutupi kedua pahanya dan tidak memakai pakaian lain di atas celana pendek tersebut sehingga dua pahanya tertutup, maka shalatnya tidaklah sah.
Demikian pula wanita yang mengenakan pakaian tipis yang tidak menutupi auratnya maka batallah shalatnya. Padahal shalat merupakan tiang Islam dan rukun yang terbesar setelah syahadatain, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin, pria dan wanita, untuk memberikan perhatian terhadapnya dan menyempurnakan syarat-syaratnya serta berhati-hati dari sebab-sebab yang dapat membatalkannya, berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ
“Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha (ashar)...” (Al-Baqarah: 238)
Dan firman-Nya:
ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮢ
“Tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
Tidaklah diragukan bahwa memerhatikan syarat-syarat shalat dan seluruh yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan berkenaan dengan shalat masuk dalam makna penjagaan dan penegakan yang diperintahkan dalam ayat.
Apabila di sisi/di sekitar si wanita itu ada lelaki ajnabi saat ia hendak shalat maka wajib4 baginya menutup wajahnya. Demikian pula dalam thawaf, ia tutupi seluruh tubuhnya karena thawaf masuk dalam hukum shalat. Wabillahi at-taufiq.” (Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/410-412)


Bila aurat orang yang sedang shalat tersingkap, bagaimana hukumnya?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Orang yang demikian tidak lepas dari beberapa keadaan :
Pertama: Bila ia sengaja/membiarkannya, shalatnya batal, baik sedikit yang terbuka/tersingkap ataupun banyak, lama waktunya ataupun sebentar.
Kedua: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka cuma sedikit maka shalatnya tidak batal.
Ketiga: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka banyak namun cuma sebentar seperti saat angin bertiup sedang ia dalam keadaan ruku lalu pakaiannya tersingkap tapi segera ia tutupi/perbaiki maka pendapat yang shahih shalatnya tidak batal karena ia segera menutup auratnya yang terbuka dan ia tidak bersengaja menyingkapnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﯙ
“Bertakwallah kalian kepada Allah semampu kalian.”
Keempat: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka banyak, waktunya pun lama karena ia tidak tahu ada auratnya yang terbuka terkecuali di akhir shalatnya maka shalatnya tidak sah karena menutup aurat merupakan salah satu syarat shalat dan umumnya yang seperti ini terjadi karena ketidakperhatian dirinya terhadap auratnya di dalam shalat. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh ibnu Al-Utsaimin, Fatawa Al-Fiqh, 12/300-301)

1 HR. Muslim no. 5547.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan hadits di atas termasuk mukjizat kenabian, karena telah muncul dan didapatkan dua golongan yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Adapun makna كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ, wanita-wanita itu memakai nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tapi tidak mensyukurinya. Ada pula yang memaknakan, para wanita tersebut menutup sebagian tubuh mereka dan membuka sebagian yang lain guna menampakkan kebagusannya. Makna lainnya, mereka memakai pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya dan apa yang tersembunyi di balik pakaian tersebut.
مَائِلاَتٌ maknanya mereka menyimpang dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dari perkara yang semestinya dijaga.
مُمِيْلاَتٌ maknanya mereka mengajarkan perbuatan mereka yang tercela kepada orang lain. Ada pula yang menerangkan مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ dengan makna mereka berjalan dengan miring berlagak angkuh dan menggoyang-goyangkan pundak mereka. Makna yang lain, mereka menyisir rambut mereka dengan gaya miring seperti model sisiran wanita pelacur dan mereka menyisirkan wanita lain dengan model sisiran seperti mereka.
رٌؤٌوْسٌهٌنَّ كأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ maknanya mereka membesarkan rambut mereka dengan melilitkan sesuatu di kepala mereka. (Al-Minhaj, 14/336) –pen.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan dalam Al-Misykat (no. 3109), Al-Irwa’ (no. 273), dan Ash-Shahihul Musnad (2/36). –pen.
3 Yakni hadits di atas adalah ucapan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.
4 Berdasar pendapat yang mewajibkan menutup wajah, bukan yang menganggapnya sunnah. (ed)

Sabtu, 07 Januari 2012

Rezeki Yang Diberkahi

Bekerja adalah sunah (jalan hidup yang ditempuh oleh) para Nabi, mereka mengajarkan kepada umat bahwa tawakal adalah bekerja dan berusaha, berdoa serta bersandar kepada Allah. Inilah salah satu wujud dari takwa kepada Allah dan pengamalan ruh tauhid. Tawakal berarti menempuh sebab-sebab yang Allah izinkan, tidak berpangku tangan menunggu rezeki yang telah Allah tetapkan, sambil terus memohon kepada-Nya rezeki yang barakah. Yaitu, rezeki yang mendatangkan banyak kebaikan, berbuah kemanfaatan di dunia dan akhirat bagi diri sendiri dan orang lain. Rasulullah ` bersabda dalam sebuah hadits,” tidaklah seorang pun memakan makanan yang lebih baik dari hasil kerja tangannya. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud dahulu makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” [H.R Al Bukhari dari sahabat Miqdam bin Ma’dikarib z].
Dalam hadits ini disebutkan Nabi Dawud secara khusus karena beliau adalah seorang khalifah di muka bumi, yang sebenarnya tidak perlu berusaha sendiri. Namun, hal ini tidak menghalangi beliau mencari yang paling utama. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/306).
Kemuliaan dan status sosial bukanlah halangan untuk bekerja, bahkan dengan makan dari keringat sendiri, mencari rezeki yang barakah justru sebagai keutamaan yang akan meninggikan kedudukannya di dunia dan akhirat.
Di antara tanda rezeki yang barakah adalah berlandaskan niat yang benar dan takwa kepada Allah dalam pencariannya. Berniat untuk melaksanakan kewajiban memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Rasulullah ` bersabda,” sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap penggembala tentang gembalaannya, ia jaga atau ia sia-siakan. Sehingga seseorang akan ditanya tentang pertanggungjawabannya terhadap keluarganya.” [H.R. Ibnu Hibban dari sahabat Al Hasan z, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At-Targhib].
Bahkan, siapa yang menyia-nyiakan dan menelantarkan keluarganya akan menanggung dosa, sebagaimana yang Rasulullah ` sampaikan, dari sahabat Abdullah Bin Amr z,” cukuplah sebuah dosa bagi seseorang yang menyia-yiakan orang yang berada dalam tanggungannya.” [H.R. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam shahih At Targhib].
Sebaliknya, nafkah yang diberikan kepada keluarga akan dinilai sebagai sedekah. Bahkan seteguk air minum yang diberikan akan bernilai pahala. Rasulullah ` bersabda,” sesunggunya seseorang memberi air minum kepada istrinya, ia akan diberi pahala.”  [H.R. Ahmad dari sahabat Al Irbat bin sariyyah z, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib].Seseorang yang bekerja dalam rangka mengamalkan bimbingan Rasulullah ` di atas, dengan niatan-niatan yang baik, memperhatikan batasan-batasan Allah dalam mencarinya, hati-hati dalam mencari peluang usaha, tidak mudah tergiur dan silau dengan kemegahan dunia, selalu menjaga diri dan menjauhi perkara yang diragukan kehalalannya dalam agama, kemudian selalu berdoa dan berusaha, maka Allah memberkahinya, sebagaimana Rasulullah ` jelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Amr bin Ash z, beliau bersabda,” dunia ini manis dann hijau. Siapa yang menggambilnya dengan cara yang benar maka akan diberkahi. Berapa banyak orang yang tenggelam dalam dunia, tenggelam dalam nafsunya, ia tidak mendapatkan bagian pada hari kiamat kecuali neraka.”[H.R. At Thabarani, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Sahih At Targhib].
Allah juga akan membukakan pintu rezeki baginya,
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” [Q.S. At Thalaq:2,3].
Dengan takwa pula Allah akan membukakan pintu barakah,
“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” [Q.S. Al A’raf:96].
Di antara tanda rezeki yang barakah adalah Allah mudahkan dalam pengaturan dan penyalurannya pada tempatnya, baik pembelanjaan yang hukumnya wajib maupun yang sunah. Dia bisa mengalokasikan uang dengan tepat, tidak terlalu ketat atau cenderung pelit dalam mengeluarkan uang, tidak pula berlebih-lebihan sehingga boros dan sia-sia.
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” [Q.S. Al Furqan:67].
Dalam ayat yang mulia ini Allah memuji orang yang bijaksana dalam mengatur keuangannya. Bahkan Allah mencela sifat boros. Cukuplah sebagai celaan, Allah sebutkan orang yang demikian sebagai saudara syaithan. Syaithan yang tidaklah mengajak kecuali kepada akhlak yang jelek, apabila seseorang lolos dari bujuk rayunya untuk kikir, maka syaithan akan menyeretnya kepada sikap boros dan berlebih-lebihan. Allah berfirman,
“Janganlah kalian menghambur-hamburkan (hartamu) secara berlebih-lebihan. Sesungguhnya orang yang menghambur-hamburkan itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” [Q.S. Al Isra`:26,27].
Di antara ciri rezeki yang barakah adalah dipergunakan untuk berbuat baik terhadap sesama. Senang memberi hadiah kepada tetangga, gemar bersedekah, membantu orang yang kesulitan, lunak dalam muamalah jual beli, memberi tenggang kepada orang yang terlilit hutang dan yang lainnya. Sebagaimana Allah menganjurkan dalam salah satu ayat-Nya Allah berfirman,
“Dan janganlah kalian melupakan kelebihan harta untuk berbuat baik terhadap sesama kalian. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kalian kerjakan.” [Q.S. Al Baqarah:237].
Setelah Allah menghasung untuk berbuat kebaikan antara sesama, Allah menutup ayat ini dengan penyebutan sifat kesempurnaan-Nya yaitu Maha Melihat, artinya Allah tidak akan menyia-nyiakan amalan ini, Allah akan mencatat dan akan membalasinya. Allahua’lam. [farhan].