Ada banyak alasan kenapa orangtua menyekolahkan anaknya di sekolah favorit, memfasilitasinya dengan sarana pendidikan dan peranti penunjang belajar yang lengkap, mewajibkan si anak les ini dan itu, dsb. Semua itu bermuara pada pencapaian bernama kesuksesan (duniawi) anak. Lalu bagaimana dengan akhirat mereka? Sudahkah orangtua mempersiapkannya?
Lantunan Surah Al-Fatihah terdengar dari bibir seorang anak kecil. Lisan kanak-kanaknya berusaha untuk fasih mengucapkan huruf demi huruf. Disusul surah-surah pendek setelah itu. Tak ada dendangan yang meluncur dari bibirnya, hanyalah surah demi surah Al-Qur’an yang mulia yang menjadi lantunan di kesehariannya.
Subhanallah! Betapa besar dan suka cita hati orangtua melihat sang anak tumbuh bersama Kitabullah, yang diharapkan akan menjadi pembimbingnya kelak jika telah dewasa, sehingga nanti dia akan selamat dari gelapnya kebodohan dan butanya kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللهِ نُوْرٌ وَكِتَابٌ مٌبِيْنٌ يَهْدِيْ بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلاَمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيْهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
“Telah datang padamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah memberi petunjuk pada siapa pun yang mengikuti keridhaan-Nya menuju jalan keselamatan dan Allah keluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya yang terang dengan seizin-Nya, dan Dia memberi petunjuk pada mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Maidah: 15-16)
Akan tetapi amat disayangkan, banyak orangtua yang tidak memerhatikan bahkan meremehkan pengajaran Al-Qur’an terhadap anak-anaknya. Lebih-lebih lagi mereka beranggapan, orang yang sibuk mempelajari Al-Qur’an adalah orang yang fakir dan rendah martabatnya di mata manusia.
Perlu disadari, bahwa Al-Qur’an adalah ilmu yang paling utama. Betapa banyak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan orang-orang yang mempelajari Al-Qur’an, membaca maupun mengajarkannya. Dalam Kitab-Nya yang mulia Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan pujian bagi orang-orang yang membaca dan mengamalkan Kitabullah:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِِيَةً يَرْجُوْنَ تِجَارَةً لَنْ تَبُوْرَ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitabullah, menunaikan shalat dan berinfak dengan rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka secara diam-diam ataupun terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tak akan merugi.” (Fathir: 29)
Mereka ini senantiasa mengikuti dan melaksanakan segala perintah yang ada di dalam Al-Qur’an, meninggalkan segala larangannya, meyakini kebenaran seluruh kabar yang ada di dalamnya, tidak mengutamakan pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an, juga membaca lafadz-lafadznya dengan cara mempelajarinya berikut maknanya dengan memerhatikannya secara teliti. Mereka juga menunaikan shalat yang merupakan tonggak agama, cahaya bagi kaum muslimin, timbangan keimanan dan tanda kejujuran Islamnya, serta berinfak kepada kerabat, orang-orang miskin, anak yatim dan yang lainnya, baik pemberian itu berupa zakat, kafarah (denda), nadzar, ataupun sedekah. Dengan itu semua mereka mengharapkan perniagaan yang tak akan pernah lesu maupun rugi. Bahkan perniagaan ini adalah perniagaan yang paling besar, paling tinggi dan paling utama, yaitu memperoleh ridha Rabb mereka, mendapatkan keuntungan berupa pahala yang berlimpah ruah, selamat dari kemurkaan dan hukuman-Nya. Mereka ikhlas menunaikan amalan itu semua, sedikit pun tidak menginginkan tujuan yang jelek maupun niat yang rusak. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 689)
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan berbagai keutamaan membaca dan mempelajari serta mengamalkan Kitabullah. Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اقْرَؤُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لأَصَحَابِهِ
Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bacalah Al-Qur’an, karena dia akan datang pada hari kiamat nanti sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.” (HR Muslim no. 804)
An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: يُؤْتَى يَوْمَ القِيَامَةِ بِالقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الَّذِيْنَ كَانُوا يَعْمَلُوْنَ بِهِ تَقَدَّمَهُ سُوْرَةُ البَقَرَةِ وَآلِ عِمْرَانَ وَضَرَبَ لَهُمَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَةَ أَمْثَالٍ مَا نَسِيْتُهُنَّ بَعْدُ. قَالَ: كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ ظُلَّتَانِ سَوْدَوَانِ، بَيْنَهُمَا شَرْقٌ، أَوْ كَأَنَّهُمَا حِزْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ، تُحَاجَّانِ عَنْ صَاحِبِهِمَا
“Pada hari kiamat nanti didatangkan Al-Qur’an beserta para pembacanya yang senantiasa mengamalkannya semasa di dunia, didahului oleh Surah Al-Baqarah dan Surah Ali ‘Imran.” Lalu beliau (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyebutkan tiga permisalan kedua surah tadi yang tak pernah kulupakan setelahnya. Beliau berkata lagi: “Kedua surah itu seakanakan dua gumpalan awan atau dua naungan hitam, di antara keduanya ada cahaya, atau keduanya seakan-akan dua kumpulan burung yang berbaris, memberikan hujjah yang membela pembacanya.” (HR. Muslim no. 805)
Dalam sabdanya ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan tentang orang yang membaca dan mengamalkan Al-Qur’an, bahwa nanti pada hari kiamat Al-Qur’an itu akan datang dipimpin oleh Surah Al-Baqarah dan Surah Ali ‘Imran , menyampaikan hujjah yang akan membela pembacanya. Namun di sini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan, membaca Al-Qur’an disertai pengamalannya, karena orang yang membaca Al-Qur’an terbagi menjadi dua:
Pertama, orang yang tidak mengamalkannya, tidak mengimani kabar-kabar yang ada di dalamnya, tidak melaksanakan hukum-hukumnya, maka Al-Qur’an akan menjadi hujjah yang menimpa mereka;
Kedua, orang yang beriman dan membenarkan seluruh kabar dalam Al-Qur’an, serta mengamalkan hukumhukumnya, maka Al-Qur’an akan menjadi hujjah yang membelanya pada hari kiamat nanti, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
القُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Al-Qur’an adalah hujjah yang akan membelamu atau menimpamu.”
Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan bahwa perkara terpenting yang berkenaan dengan Al-Qur’an adalah mengamalkannya. (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/159)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan pujian pada seseorang yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an, sebagaimana diriwayatkan oleh shahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR Al-Bukhari no. 5027)
Sebaik-baik orang adalah orang yang memiliki kedua sifat ini, mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya. Dia belajar Al-Qur’an dari orang lain dan mengajarkannya pada orang lain. Belajar dan mengajar Al-Qur’an di sini mencakup mempelajari lafadz maupun maknanya. Seseorang yang menghapal Al-Qur’an, mengajari orang lain membaca Al-Qur’an, dan membantu mereka untuk menghapalnya termasuk mengajarkan Al-Qur’an. Demikian pula orang yang belajar Al-Qur’an dengan cara seperti ini, maka dia termasuk belajar Al-Qur’an. Dengan begitu, kita ketahui keutamaan halaqah-halaqah yang ada sekarang ini di berbagai belahan negeri, walhamdulillah, di berbagai masjid, di mana anak-anak belajar Kalamullah. Sehingga siapa pun yang turut ambil bagian di dalamnya akan mendapat pahala, siapa pun yang anak-anaknya masuk ke sana akan mendapat pahala, dan siapa pun yang memberikan sesuatu ataupun mengajar di situ akan mendapat pahala. Semuanya masuk dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (Syarh Riyadhush Shalihin 3/160)
Selain pujian kepada orang yang mempelajari dan mengamalkan Kitabullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan keutamaan orang yang mahir membaca Al-Qur’an dan pahala bagi orang yang membacanya dengan terbata-bata. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شاَقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Seseorang yang membaca Al-Qur’an yang mahir dalam membacanya bersama malaikat yang diutus, yang mulia lagi senantiasa berbuat taat, dan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan kesulitan akan mendapatkan dua pahala.” (HR Muslim no.798)
Orang yang mahir membaca Al-Qur’an adalah orang yang bagus dan kokoh bacaannya. Orang seperti ini bersama para malaikat utusan Allah yang mulia lagi senantiasa berbuat taat. Sementara orang yang terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an yaitu orang yang membaca dengan mengeja dan mengalami kesusahan dalam membacanya, dia akan mendapatkan dua pahala. Pahala yang pertama untuk bacaannya, pahala yang kedua untuk kepayahan dan kesusahannya. (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/161)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menukil perkataan Al-Qadhi dalam penjelasan beliau terhadap hadits ini: “Kemungkinan makna kebersamaan orang yang mahir membaca Al-Qur’an dengan para malaikat, di akhirat nanti dia akan memiliki tempat tinggal bertetangga dengan para malaikat utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena dia memiliki sifat yang serupa dengan sifat para malaikat tersebut, yaitu sebagai pembawa Kitabullah.
Kemungkinan pula yang dimaksudkan, dia beramal seperti amalan para malaikat itu, dan berperilaku sebagaimana perilaku mereka. Adapun orang yang terbata-bata dalam bacaan Al-Qur’annya, yaitu orang yang tidak lancar membacanya disebabkan lemahnya hapalannya, akan mendapatkan dua pahala, satu pahala untuk bacaannya dan satu pahala lagi untuk keterbataan dan kesusahannya.”
Al-Qadhi dan ulama yang lainnya juga mengatakan: “Bukanlah maknanya orang yang terbata-bata dalam bacaannya memperoleh pahala lebih banyak daripada orang yang mahir. Bahkan orang yang mahir itu lebih utama dan lebih banyak pahalanya karena dia bersama para malaikat utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan banyak pahala, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyebutkan kedudukan yang seperti ini bagi yang lainnya. Bagaimana mungkin bisa disamai oleh orang yang tidak menjaga, menghapal Kitabullah dan mengokohkannya, juga tidak banyak membacanya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/83-84)
Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu mengatakan pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ اْلأُتْرُجَّةِ رِيْحُهَا طَيِّبٌ َطَعْمُهَا طَيِّبٌ، وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لاَ رِيْحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيْحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ
“Perumpamaan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an itu seperti buah utrujjah, baunya wangi, rasanya pun lezat. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma, tidak punya bau, sementara rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang membaca Al-Qur’an seperti raihanah, baunya wangi tetapi rasanya pahit. Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah handzalah, tidak berbau dan rasanya pun pahit.” (HR. Al-Bukhari no. 5020 dan Muslim no. 797)
Namun tentunya keutamaan demi keutamaan itu tak akan bisa didapati bila orangtua tidak mengenalkan dan mengajarkan Kitabullah semenjak dini. Usaha, kesabaran dan ketelatenan serta teladan orangtua tentu dibutuhkan agar anak menjadi seseorang yang akrab dengan kalam Rabbnya.
Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat mempelajari Al-Qur’an semenjak usia kanak-kanak, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا ابْنُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَقَدْ قَرَأْتُ الْمُحْكَمَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ketika aku berumur sepuluh tahun sementara aku telah menghafal ayat-ayat muhkam .” (HR. Al-Bukhari no. 5035)
Berkaitan dengan hal ini, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam risalah beliau yang berjudul Hatstsu Thalabatil ‘Ilmi ‘alal Iltihaq bi Jama’ati Tahfizhil Qur’anil Karim menekankan kepada orangtua untuk mendorong anak-anaknya bergabung di majelis-majelis tahfidz Al-Qur’an. Beliau mengatakan, “Aku menghimbau saudara-saudaraku yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniai anak agar menyemangati anak-anaknya untuk bergabung dengan perkumpulan-perkumpulan semacam ini, dan berpesan agar mereka mengikutinya secara teratur, karena membaca Kitabullah termasuk sebab datangnya kebaikan dan kebaikan anak merupakan kebaikan bagi orangtuanya di dunia maupun kelak setelah wafatnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seseorang meninggal, terputus seluruh amalannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak shalih yang mendoakannya.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 225)
Oleh karena itu, setiap orangtua yang mengharapkan kebaikan bagi dirinya, anak-anak dan keluarganya semestinya memiliki semangat untuk mengajarkan Al-Qur’an pada anak-anaknya dan mengajak mereka untuk menghapalnya. Semua itu dia usahakan agar dapat meraih pahala yang besar dari Rabbnya dan menjaga agama anak-anaknya, sehingga mereka pun menjadi perhiasan di dunia dan simpanan yang baik bagi kehidupan di akhirat kelak.
Wallahu a’lam
di kutip dari : www.asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar