وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)
Mukadimah
Syariat Islam sungguh indah. Ia mengajarkan adab
nan tinggi dan akhlak yang mulia. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang
lebih muda, dan selalu berusaha menjaga keutuhan keluarga. Membersihkan
berbagai noda di dada yang akan merusak hubungan sesama manusia yang satu
keluarga. Menyantuni yang tidak punya dan tidak iri dengki kepada yang kaya.
Silaturahim adalah resep mustajab untuk ini semua.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturahim
termasuk inti dakwah Islam, sebagaimana diriwayatkan Abu Umamah, dia berkata:
Amr bin ‘Abasah As-Sulami zberkata:
فَقُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: أَرْسَلَنِي بِصِلَةِ الْأَرْحَامِ وَكَسْرِ الْأَوْثَانِ وَأَنْ يُوَحَّدَ اللهُ لاَ يُشْرَكَ بِهِ شَيْءٌ
Aku berkata: “Dengan apa Allah mengutusmu?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah mengutusku dengan
silaturahim, menghancurkan berhala dan agar Allah ditauhidkan, tidak
disekutukan dengan-Nya sesuatupun.” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin, Bab
Islam ‘Amr bin ‘Abasah, no. 1927)
An-Nawawi t menjelaskan hadits ini dengan menyatakan: “Dalam hadits ini
terdapat dalil yang sangat jelas untuk memotivasi silaturahim. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringkannya dengan tauhid dan tidak
menyebutkan bagian-bagian Islam yang lain kepadanya (‘Amr). Beliau hanya
menyebutkan yang terpenting, dan beliau awali dengan silaturahim.” (Syarh
Shahih Muslim, 5/354-355, cet. Darul Mu`ayyad)
Makna Silaturahim
Silaturahim berasal dari bahasa Arab, yaitu dari
kata صِلَةٌ dan الرَّحِمُ . Kata صِلَةٌ adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata وَصَلَ- يَصِلُ, yang berarti sampai,
menyambung. Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “وَصَلَ – الْاِتِّصَالُ yaitu menyatunya
beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (Al-Mufradat fi Gharibil Qur`an, hal.
525)
Adapun kata الرَّحِمُ, Ibnu Manzhur berkata: “الرَّحِمُ adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya
janin di dalam perut.” (Lisanul ‘Arab)
Jadi, silaturahim artinya adalah menyambung tali
persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab.
Penjelasan Ayat
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menjelaskan: “Allah l memerintahkan hamba-Nya
untuk beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk dalam penghambaan
diri kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan larangan-Nya, dengan kecintaan,
ketundukan, dan ikhlas untuk-Nya pada semua jenis ibadah, lahiriah maupun
batiniah, serta melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Baik syirik
kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun makhluk lainnya
yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri manfaat, mudarat, kematian,
kehidupan, maupun pembangkitan. Bahkan yang menjadi keharusan (kewajiban) yang
pasti adalah mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki kesempurnaan dari
segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak ada yang
menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.”
Setelah Allah k memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya,
Allah l memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan
(sesuai skala prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya. Maka Allah k mengatakan:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.”
Artinya, berbuat baiklah kalian kepada mereka dengan
ucapan yang mulia, tutur kata yang lembut, dan perbuatan yang baik, dengan
menaati perintah mereka berdua dan menjauhi larangan mereka, memberikan nafkah
kepada mereka, memuliakan orang yang memiliki hubungan dengan mereka berdua,
dan menyambung tali silaturahim, yang mana tidak akan ada kerabat bagimu
kecuali dengan perantaraan mereka berdua.
Berbakti kepada kedua orangtua memiliki dua lawan,
yaitu berbuat jelek (durhaka) dan tidak berbuat baik. Kedua hal ini terlarang.
وَبِذِي الْقُرْبَى
“(Dan kepada) karib kerabat.”
Yakni, berbuat baiklah juga kepada mereka. Kerabat
di sini meliputi semuanya, yang dekat ataupun jauh. Berbuat baik kepada mereka
dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak memutuskan silaturahim dengan
mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
وَالْيَتَامَى
“(Dan kepada) anak-anak yatim.”
Anak yatim yaitu orang yang ditinggal mati ayah
mereka dalam keadaan masih kecil. Mereka punya hak atas kaum muslimin. Baik
anak yatim tersebut termasuk kerabat atau bukan. Bentuk perbuatan baik terhadap
mereka yaitu dengan menanggung biaya hidup mereka, berbuat baik dan melipur
derita mereka, mendidik mereka dengan pendidikan terbaik, dalam urusan agama
maupun dunia.
وَالْمَسَاكِينِ
“(Dan kepada) orang-orang miskin.”
Yaitu orang-orang yang tertahan dengan kebutuhan
mereka sehingga tidak mendapatkan kecukupan untuk diri mereka dan orang yang
mereka tanggung. Bentuk perbuatan baik kepada mereka adalah dengan menutupi
kekurangan mereka, membantu mereka sehingga tercukupi kebutuhannya. Juga dengan
mengajak orang lain untuk melakukan hal tersebut dan melakukan apa yang mampu
untuk dilakukan.
وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى
“(Dan kepada) tetangga yang dekat.”
Artinya, kerabat yang rumahnya dekat dengan kita.
Sehingga dia mempunyai dua hak atas kita, hak sebagai kerabat dan hak sebagai
tetangga. Perbuatan baik di sini dikembalikan kepada adat yang berlaku.
Demikian juga dengan:
وَالْجَارِ الْجُنُبِ
“Tetangga yang jauh.”
Yaitu tetangga yang tidak mempunyai hubungan
kekerabatan. Dalam hal ini, tetangga yang lebih dekat pintunya lebih besar pula
haknya. Sehingga dianjurkan bagi seseorang untuk selalu memerhatikan
tetangganya, dengan memberikan hadiah, shadaqah, dengan dakwah, kesopanan, baik
dalam ucapan maupun perbuatan. Juga tidak menyakitinya, baik dengan ucapan
maupun perbuatan.
وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ
“(Dan kepada) teman sejawat.”
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah teman
dalam perjalanan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah istri. Ada yang
mengatakan maksudnya teman secara mutlak. Dan mungkin pendapat (terakhir) ini
lebih benar, karena mencakup teman di rumah, di perjalanan, serta istri.
Sehingga, seorang teman memiliki kewajiban
terhadap temannya lebih daripada hak Islamnya, untuk membantunya dalam urusan
agama maupun dunia, menasihatinya, menepati janji terhadapnya, ketika senang
ataupun susah, ketika sedang bersemangat ataupun malas. Hendaknya ia mencintai
untuk temannya apa yang dia sukai untuk dirinya, dan membenci apa yang ia benci
untuk dirinya. Semakin lama pergaulan dengannya, semakin besar pula haknya.
وَابْنِ السَّبِيلِ
“(Dan kepada) ibnu sabil.”
Yaitu orang asing di negeri lain, yang membutuhkan
bantuan materi ataupun tidak. Ia punya hak atas kaum muslimin, karena dia
sangat butuh atau karena dia berada di negeri asing. Dia memerlukan bantuan
agar sampai ke tempat tujuannya atau tercapai sebagian maksud dan cita-citanya.
Juga dengan memuliakan dan menemaninya agar tidak kesepian.
وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“(Dan kepada) hamba sahayamu.”
Yaitu apa yang kalian miliki, baik dari kalangan
Bani Adam atau dari hewan. Perbuatan baik di sini yaitu dengan mencukupi kebutuhan
mereka dan tidak membebani sesuatu yang memberatkan mereka. Membantu mereka
melaksanakan hal yang menjadi tanggung jawab mereka. Mendidik mereka untuk
kemaslahatan mereka.
Maka barangsiapa yang melaksanakan
perintah-perintah Allah l dan syariat-Nya, berhak
mendapatkan pahala yang besar dan pujian yang indah. Sedangkan orang yang tidak
melaksanakan perintah-perintah tersebut, dialah orang yang menjauh dari
Rabb-Nya dan tidak taat terhadap perintah-perintah-Nya, tidak rendah hati
kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah orang yang sombong terhadap hamba Allah k, teperdaya dengan dirinya dan bangga dengan ucapannya.
Oleh karena itulah Allah k berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong….”
Maksudnya, sesungguhnya Allah k tidak mencintai orang yang teperdaya dengan dirinya, sombong
terhadap hamba Allah k.
فَخُورًا
“…dan membangga-banggakan diri.”
Yakni, memuji dirinya dan menyanjungnya untuk
membanggakan dan menyombongkan dirinya kepada hamba Allah l. (Tafsir As-Sa’di, hal. 191-192, cet. Darus Salam)
Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa
berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat
yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik
kepada segala sesuatu.” (HR. Muslim dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus z)
Targhib (Motivasi)
Allah l melengkapi perintah
untuk menyambung tali silaturahim dengan memberikan janji dan ancaman. Di
antara janji-janji tersebut adalah:
1. Surga adalah balasan bagi orang yang menyambung
tali silaturahim.
Allah k mengatakan:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang
Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut
kepada hisab yang buruk.” (Ar-Ra’d: 21)
‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t menyatakan:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang
Allah perintahkan supaya dihubungkan.”
Ini umum meliputi semua perkara yang Allah l perintahkan untuk menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan
kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai-Nya dan mencintai
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, taat beribadah kepada-Nya semata dan
taat kepada Rasul-Nya. Termasuk juga, menyambung kepada bapak dan ibu dengan
berbuat baik kepada mereka, dengan perkataan dan perbuatan, tidak durhaka
kepada mereka. Juga, menyambung karib kerabat, dengan berbuat baik kepada
mereka dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Juga menyambung dengan para istri,
teman, dan hamba sahaya, dengan memberikan hak mereka secara sempurna, baik
hak-hak duniawi ataupun agama.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 481, cet. Darus Salam)
Kemudian dalam ayat 22-24 dari surat Ar-Ra’d ini,
Allah k memberitahukan:
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ. جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ ءَابَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ(23)سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
“Orang-orang itulah1 yang mendapat tempat
kesudahan (yang baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya
bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istri dan
anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua
pintu; (sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah
baiknya tempat kesudahan itu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
memberikan penjelasan yang sama sebagaimana dalam hadits dari Abu Ayyub Khalid
bin Zaid Al-Anshari z:
يَا رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ. فَقَال النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Seseorang berkata: ‘Ya Rasulullah, beritahukan
kepadaku amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku dari
neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Engkau beribadah
kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim’.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209,
Muslim no. 13)
2. Shadaqah kepada kerabat berpahala ganda.
Dari Salman bin ‘Amr z, dari Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
berkata:
الصَّدَقَةُ عَلىَ الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Shadaqah kepada orang miskin itu satu shadaqah.
Dan shadaqah kepada kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan penyambung
silaturahim.” (HR. At-Tirmidzi no. 685, Abu Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92,
Ibnu Majah no. 1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan. Ibnu Hibban
menshahihkannya)
3. Orang yang menyambung tali silaturahim akan
dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Dari Anas z, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan
dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR.
Al-Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)
Tarhib (Ancaman)
Di samping janji-janji, syariat juga melengkapi
perintah untuk bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang
memutuskannya. Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah:
1. Laknat Allah l dan tempat kembali yang buruk (neraka) bagi yang memutus tali
silaturahim.
Allah k mengatakan dalam surat
Ar-Ra’d ayat 25:
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah
diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang
memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits dari Abu Muhammad Jubair bin Muth’im
z, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ. قَالَ سُفْيَانُ فِي رِوَايَتِهِ: يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan.”
Sufyan Ats-Tsauri t mengatakan dalam riwayatnya: “Maksudnya, orang yang memutuskan
tali silaturahim.” (HR. Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556)
2. Dijadikan buta dan tuli.
Allah l berfirman:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan
membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah
orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan
dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23)
Ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang
memutuskan tali silaturahim, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud z, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيْعَةِ. قاَلَ: نَعَمْ، أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلىَ. قَالَ: فَذَلِكِ لَكِ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْرَؤُوا إِنْ شِئْتُمْ: فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah
selesai dari mereka, berdirilah Ar-Rahim (rahim) dan mengatakan: ‘Inilah kedudukan
(makhluk) yang minta perlindungan kepada-Mu dari diputus hubungan.’ Allah
mengatakan: ‘Ya. Tidakkah engkau puas (bahwa) Aku akan menyambung siapa yang
menyambungmu, dan memutus siapa yang memutusmu?’ Ar-Rahim mengatakan: ‘Ya.’
Allah menyatakan: ‘Itu bagimu’.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan: “Bacalah bila kalian mau:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan
membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah
orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan
dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari 10/349,
13/392 dan Muslim no. 2554]
3. Orang yang memutuskan tali silaturahim segera
mendapatkan azab di dunia dan akhirat.
Dari Abu Bakrah z, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan
hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang
disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.”
(HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud, Kitabul Adab (43) no. 4901, dan ini lafadz beliau,
At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah no. 1513, dan beliau mengatakan hadits ini
shahih, Ibnu Majah dalam Kitab Az-Zuhd bab Al-Baghi, no. 4211)
Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar Membalas
Banyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah
saudaranya mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya setelah saudaranya
mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah, dan seterusnya. Dia
hanya membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak
mengunjunginya –misalnya– tidak mau dia berkunjung. Ini belum dikatakan
menyambung tali silaturahim yang sebenarnya. Yang disebut menyambung tali
silaturahim sebenarnya adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang yang
telah memutuskan hubungan kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin ‘Amr c, dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Bukanlah penyambung adalah orang yang hanya
membalas. Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputus rahimnya, dia
menyambungnya.” {HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (15) Laisal Washil bil
Mukafi, no. 5991}
Ibnu Hajar t mengatakan: “Peniadaan sambungan tidak pasti menunjukkan adanya
pemutusan. Karena mereka ada tiga tingkatan: (1) orang yang menyambung, (2)
orang yang membalas, dan (3) orang yang memutuskan. Orang yang menyambung
adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan tidak diungguli oleh orang lain.
Orang yang membalas adalah orang yang tidak menambahi pemberian lebih dari apa
yang dia dapatkan. Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang yang diberi dan
tidak memberi. Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang
mengawali berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang
membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 10/427,
cet. Dar Rayyan)
Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat
mereka meskipun mereka berbuat jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun.
Bahkan akan selalu ditolong oleh Allah k. justru kerabat yang tidak mau membalas kebaikan itulah yang
mendapat dosa yang besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam hadits Ibnu
Mas’ud z: Ada seseorang berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلِمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ. فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيٌر عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat dan aku
sambung mereka, tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka
tetapi mereka berbuat jelek terhadapku. Aku bersabar terhadap mereka, tetapi
mereka selalu berbuat jahil kepadaku.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Jika engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah
engkau melemparkan abu panas ke wajah mereka dan pertolongan Allah tetap
bersamamu menghadapi mereka selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim, Kitabul
Birr wash-Shilah, bab Silaturahim wa tahrimu qathi’atiha, no. 6472)
Silaturahim kepada Kerabat Non Muslim
Allah k telah berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di t menjelaskan: “Artinya,
Allah k tidak melarang kalian dari kebaikan, silaturahim, dan membalas
kebaikan serta berlaku adil terhadap kerabat kalian dari kalangan kaum
musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka tidak mengobarkan peperangan
dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian.
Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan mereka dalam keadaan seperti
ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan padanya.”
Abul Fida` Ismail bin Katsir t menafsirkan ayat ini dengan membawakan hadits dari Asma` bintu
Abu Bakr Ash-Shiddiq c, dia mengatakan:
قَدِمَتْ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ .... فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ
“Ibuku datang dalam keadaan masih musyrik, di
waktu perjanjian damai yang disepakati orang Quraisy. Maka aku datang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, ibuku
datang dan ia ingin berbuat baik. Bolehkah aku berbuat baik kepadanya?’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Ya, berbuat baiklah kepada
ibumu’.” (HR. Ahmad 6/344, Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (7) no. 5978 dan 5979,
Muslim Kitabuz Zakat (50) no. 2322)
Jadi jelaslah bahwa berbuat baik kepada kerabat
adalah suatu hal yang disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia
bukan orang yang memerangi agama kita, dan tentunya tidak ada loyalitas dalam
hati kita terhadap agamanya. Justru kita harapkan dengan sikap dan perilaku
kita yang baik kepada orang semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah dalam
hati kerabat kita tersebut, sehingga ia masuk Islam dan meninggalkan
kekafirannya.
Wallahul hadi ila sawa`is sabil.
1 Yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam
beberapa ayat sebelumnya
Subhanalloh. Terimakasih akhii..mohon share ya
BalasHapusSyukron jazaakillah khaer ukhtii izin share. Ummu Almas Purwokerto.
BalasHapusMenu Islami,Mantap Gan.....
BalasHapusartikel yang menginspirasikan kebaikan! i like it :)
BalasHapus